Ada hutan, tanah dan air berarti ada kehidupan. Mengingat, seperti terlihat, tajuk-tajuk dan ranting-ranting itu seperti terlihat tidak lagi kuat menopang karena semakin tercabut tercerabut hingga rebah tak berdaya. Demikian pula ragam satwa yang sudah semakin bingung mencari pakan dan berkembang biak saban waktu karena semakin terasing di rumah sendiri (hutan). Tidak kalah hebatnya kita pun sudah semakin akrab dengan dera derita yang mendera karena sejatinya ulah oknum kita yang berdampak kepada semua. Tentu ini dirasa perlu menanya, bagaimana dengan masa depan bersama?
Masa depan yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah agar kirannya tajuk-tajuk yang menjulang tinggi masih boleh berdiri kokoh dan nyanyian merdu bersama suara satwa masih menggema keagungan nafas yang boleh sebagai Pelepas dahaga, penyejuk jiwa bagi semua segala bernyawa, tidak terkecuali kita.
Sepertinya semua mau tidah mau harus menata dan menatap masa depan bersama. Masa depan tentang satwa yang masih boleh berkicau riang gembira bernyanyi tanpa harus terkurung terkungkung dalam rimba yang semakin tak banyak yang rebah tak berdaya menjadi tanda tanya dan tanggung jawab bersama tanpa terkecuali siapapun itu.
Satwa, kita dan masa depan tentunya semua harus seirama, seiramanya bisa tenang menata masa depan. Masa depan keberlanjutan hidup dan tempat hidup yang aman dan nyaman.
Semua kita mendambakan agar kiranya bisa selalu seirama dan harmoni. Bukan lagi saling menyingkirkan, memusnahkan hingga rebah tak berdaya.
Saban waktu kini, menanti kita untuk saling menyapa. Karena sepertinya semua sudah mulai acuh dan tidak peduli satu dengan lainnya. Derai tangis satwa sama pula dengan tawa kelakar tangan-tangan tak terlihat yang tanpa henti merampas dan membuat hutan tanah air ini seakan tidak sanggup menjadi rumah atau pun setidaknya menjadi payung pelindung. Demikian pula kita, tak jarang menuai yang sering disebut bencana.
Bencana yang yang sudah semakin akrab dengan kita pun kian membuka mata hati, sejatinya. Adakah para pemangku kebijakan, agar alam ini agar ia masih bisa berdiri kokoh, nyanyian satwa masih boleh terus bergema harmoni sepanjang waktu. Bukan deru mesin, bukan pula abai terhadap hutan tanah air ini. Hutan ala mini tak ubah seperti ibu bagi kita. Selagi ia ada maka ia akan terus bisa merawat kita tanpa pamrih. Demikian juga dengan tanah, tanah adalah nyawa (napas) hidup semua segala bernyawa. Ada hutan, tanah dan air berarti ada kehidupan.
Kehidupan yang ada memberi tanda nyata tentang kisah bahwa keutuhan ciptaan yang masih ada dan yang tersisa ini jangan lagi kita kuras, jangan lagi kita korbankan demi segelintir ego tetapi berakibat fatal bagi semua.
Semua satwa pun sudah semakin sering terbelenggu oleh ulah, polah tingkah kita. Tegohlah tak sedikit terkungkung dan terkepung oleh oknum-oknum tangan tak terlihat. Tak jarang masyarakat yang menggantungkan hidup dari hasil hutan alam secara perlahan tersisih karena tak mampu lagi bertahan akibat hutan alam yang semakin terkikis menjelang habis di bumi pertiwi.
Panas terik membakar kulit, tanah kering kerontang atau banjir/banjir bandang setidaknya itu contoh yang sudah selalu/semakin akrab dengan kita saat ini, yang sejatinya jangaan sampai terjadi. Tetapi itu semua benar-benar nyata adanya.