Senin (21/3/2017) pekan lalu, saya mendapatkan kiriman foto dari rekan kerja, foto yang ia kirimkan tersebut adalah si hidung mancung. Sungguh malang nasib si hidung mancung (Bekantan) ditemukan tak bernyawa saat melintasi jalan raya.
Saat rekan saya Samad bersama Asbandi melintasi jalan, ia tidak sengaja menemukan bekantan tersebut sudah tidak bernyawa. Menurut keterangan mereka, mereka menemukan bekantan di jalan raya di Desa Nipah Kuning tak jauh dari Pasar Melano, Kec. Simpang Hilir, KKU, Kalbar.
Diperkirakan bekantan tersebut sedang melintasi jalurnya yang juga kebetulan adalah jalan raya dan seketika itu juga motor pengendara lewat dan menabrak si hidung mancung tersebut. Benar saja, menurut penuturan Samad, ada bekas tabrakan (lindasan) sepeda motor dari luka-luka bekantan yang mereka jumpai tersebut. Ada juga bekas pecahan dari bagian motor yang diduga melindas satwa endemik itu. Sungguh kasihan nasib si hidung mancung tersebut.
Bekantan dikatakan sebagai satwa endemik karena hanya terdapat di wilayah Kalimantan. Habitat hewan ini hidupnya disepanjang sungai. Biasanya hidup berkelompok, 1 kelompok dari bekantan terdiri dari 6 hingga 8 ekor.
Si hidung mancung, demikian banyak orang menyebutnya. Nama lain dari si hidung mancung/bekantan adalah bentang biasanya jika melintasi jalan raya bisa saja didaerah tersebut merupakan jalur/jelajahnya ataupun di sekitarnya merupakan habitat hidupnya.
Bentang atau bekantan biasanya memperoleh makanan dari pohon nyatoh/ketiau atau dalam bahasa latinnya Palaquium, spp atau Ganua, spp, kayu malau/Diospiros, spp, pohon rasau, jenis Pandanus, spp yang sudah semakin kian menipis di hutan rawa sekitar sungai.
Pemerintah Indonesia telah memasukkan bekantan sebagai satwa dilindungi dan mengelompokkannya ke dalam status endangered (terancam punah). Bekantan juga masuk dalam daftar CITES sebagai Apendix I atau tidak boleh diperdagangkan baik secara nasional maupun international. Walau pun demikian, satwa ini tak luput dari berbagai ancaman. Salah satunya perburuan, semakin sedikitnya ruang gerak berupa hutan disepanjang sungai dan lain sebagainya.
Lembaga International Union for Conservation of Nature (IUCN) mencatat, sejak tahun 1987 jumlah satwa dengan nama Latin Nasalis larvatus ini mencapai 260.000 ekor dan tersebar di kantong-kantong habitat di Pulau Kalimantan. Mangrove Forest Balikpapan merilis data terbaru 2008. Populasi bekantan diperkirakan tersisa saat ini kurang lebih 25.000 ekor.
Hingga saat ini, belum ada data terbaru terkait jumlah populasi dari satwa yang memiliki ciri khusus dengan hidungnya yang mancung tersebut.
Berharap, semoga bekantan bisa hidup aman dan nyaman habitat hidupnya serta bisa lestari hingga nanti.
Petrus Kanisius- Yayasan Palung