Bertumpuk-tumpuk di sepanjang ruas jalan, tergeletak di bak-bak penampungan itu adanya aku. Semerbak bukan harum wangi, namun bau amis dan busuk bersatu menyengat setiap hidung yang tidak sengaja melewati tempat-tempat tersebut. Aku yang terbuang bila tidak diperhatikan, rejeki bila aku disayang.
Tidak sedikit yang mengabaikan dan mengacuhkanku. Tetapi ada pula yang berbaik hati memperhatikan, memperdulikanku sebagai sumber pengidupan.
Aku yang terbuang, rejeki bila disayang. Aku tidak lain adalah sampah. Sampah yang terbuang oleh para tangan-tangan yang lupa atau pura-pura lupa, sengaja lupa. Aku seolah dibiarkan menumpuk membusuk. Setiap waktu aku tercipta dari sisa-sisa makanan, sisa belanja berupa kantong plastik kresek. Tidak jarang pula aku tercipta dari sisa bangunan, sisa industri dengan semudahnya aku dibiarkan tergeletak begitu saja tak ubah seperti bangkai karena aku sering dikerumuni ulat, belatung dan lalat.
Terbuang, dibuang begitu saja tanpa memikirkan sebab ataupun akibat yang ditimbulkan. Itu faktanya yang ada saat ini. Tidak jarang aku dikata sebagai penyebab banjir. Selokan tersumbat penghambat aliran air yang mengalir. Tertampung menggenang disegenap penjuru. Tak sekedar tertampung dan menggenang atau mengapung namun juga penimbul ragam penyakit bila musim penghujan tiba.
Terbuang sejatinya aku di sayang demi sesuap nasi penyambung nyawa. Penyambung nyawa demi sesuap nasi berarti berkah rejeki dari yang terbuang dan tersisa untuk penambah demi rupiah tanpa ragu atau malu, tanpa harus korupsi mengambil hak orang lain.
Sebagai pengais rejeki bang sampah (tukang sampah atau pemulung) dan bank sampah serta Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menjadi solusi kini orang peduli dan menyayangiku. Cukup banyak, namun belum banyak para pengais rejeki menggantungkan, memanfaatkan aku sebagai sumber berkah. Tidak sedikit pula yang gengsi karena banyak orang yang tidak mau menyayangiku karena bauku dan rupaku tidak sedap dipandang mata. Bila aku disayang aku menjadi berkah bagi semua dan ruginya bila aku terbuang sia-sia.
Petrus Kanisius- Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H