Senja menyapa dengan kicauan burung-burung yang kembali dalam sarangnya. Matahari perlahan pergi meninggalkan bumi pertiwi. Hatiku kembali cemas. Cemas akan negeriku yang sudah lama berada dalam balutan kegelapan karena ulah warganya. Belum lagi kegelapan alami yang selalu datang ketika waktunya tiba.
Ingin sekali aku menahan sinarnya sang mentari untuk tetap menyinari negeri ini, namun hukum alam lebih berkuasa. Hukum yang tak bisa dikuasai oleh manusia. Sang mentari untuk sementara waktu harus pergi. Sejenak dalam pikiranku terlintas, masih ada hari esok. Sang mentari akan kembali lagi untuk menerangi negeri ini. Tetapi semuanya itu tak mengusik rinduku akan negeriku yang sejahtera.
Mungkinkah hari esok membawa kedamaian untuk negeri ini, bukankah dia selalu tentatif? Ah, sudahlah, biarkan semuanya terjadi sebagaimana semestinya, tak perlu memikirkan apa yang akan terjadi hari esok. Kan nyatanya masih sama, sejak dahulu sampai sekarang negeri ini seakan tak pernah berubah.
Suara jangkrik dalam gelapnya malam sudah mulai bising di kupingku. Kupingku terpekik karena lengkingan suara jangkrik itu, di kala aku sedang membaca sebuah buku yang ditulis oleh salah seorang cendikiawan ternama di Indonesia, yakni Pramoedya Ananta Toer. Dalam bukunya, beliau menulis dan menceritakan suatu negeri yang diliputi kegelapan, seperti kekerasan, penindasan, korupsi dan perilaku hoaks yang terus menyebar di mana-mana.
Kenyataan demikian tentu menyebabkan kesatuan dan kehidupan harmonis dalam suatu negara dan masyarakat terancam. Suara jangkrik itu bagaikan rakyat yang menjerit karena kelaparan. Penguasa terus menghilangkan rasa laparnya dengan memeras hak milik rakyatnya. Rakyat tetap dan selalu di relung penderitaan. Sialan, "negeriku seperti cerita yang ada dalam buku ini."
Aku pun kembali membacakan topik yang belum juga usai dibacakan. Isinya sangat menarik. Tetapi kali ini aku tidak begitu konsen dengan isi bukunya. Pikiranku tidak lagi terarah padanya karena suara jangkrik makin bising keras.
Dalam hati aku berseru: "jangkrik, jangkrik... seandainya engkau tahu apa yang sedang aku pikirkan saat ini, engkau semestinya mengerti. Aku sedang cemas dengan negeriku. Negeriku sama persis dengan kisah yang ada dalam buku ini. Ini tentang negeriku. Negeriku yang telah lama berada dalam balutan kegelapan. Korupsi makin merajalela dan sekarang hoaks menyebar di mana-mana. Aku tak lagi paham dengan semuanya itu. Siapa yang harus disalahkan?
Aku hendak menyalahkan negeri ini, tetapi apa kesalahan yang dilakukan olehnya. Yang patut dipersalahkan adalah mereka yang menjalankan negeri ini. Mereka lebih mementingkan kebutuhannya sendiri daripada rakyat yang mati kelaparan. Seandainya kamu memahami hal ini, akan kubiarkan engkau berteriak sesukamu.
Apakah jadinya negeri ini ketika dipimpin oleh mereka-mereka itu? Andaikata engkau manusia seperti aku, engkau pasti merasakan hal yang sama seperti apa yang aku rasakan saat ini atau mungkin kau menjadi seperti mereka yang tidak memedulikan hak rakyatnya.
Ya, engkau beruntung diciptakan sebagai seekor binatang yang tau hanya berteriak dan bernyanyi sesukamu. Tak banyak yang kau pikirkan. Tak ada yang kau sesali. Engkau bebas sampai kematianmu tiba. Tak seorang pun yang mengatur kehidupanmu. Engkau dengan bebas menguasai dunia ini. Engkau layaknya seperti penguasa yang dengan bebas menggunakan kuasa kepemimpinannya untuk menindas dan memeras hak milik rakyat.
Memang suaramu terkadang membuat aku tertidur dengan lelap di malam hari, dan seperti wakil rakyat yang penuh dengan janji manis, tetapi itu tak mengusik ketakutan yang ada dalam diriku tentang negeri ini. Negeriku berada dalam bayang-bayang kehancuran."