Carut marut, centang perenang dan koreng bopengnya dunia politik Indonesia saat ini menggeliktik penjuru tanah air. Hampir setiap hari kalimat-kalimat hujatan, hinaan dan cercaan terhadap dunia politik terhadap kontestan beredar di media massa, hadir dalam media sosial serta terucap dilayar kaca dan radio.
Hampir tidak ada lagi orang yang mampu menjadi pahlawan bagi dunia politik, sekalipun setiap saat kehadiran para pemimpin politik di segala level hadir baik formal maupun informal.
Politik tidak lagi dipandang sebagai kemerdekaan berfikir, pencerahan intelektual dan wahana nilai-nilai pembelaan kemanusiaan. Politik hanya panggung pertarungan kekuasaan. Selebihnya pemberi harapan palsu semata.
Politik sudah menjadi kusta peradaban dan benalu dalam kebudayaan ditengah perbedaan. Khususnya dari segi persatuan Indonesia. Hasutan demi hasutan, berita bohong menjatuhkan rival di halalkan sebagian pihak, jadinya politik ini tidak lagi sehat meyegarkan.
Politik bukan lagi berupa panji-panji terkoyak yang terus menerus berusaha ditegakkan bagi komunitas yang ingin membebaskan diri memilih kontestan sesuai isi hati. Kaum-kaum marjinal berusaha dibuat bimbang menentukan pilihannya. Politik elite, tempatnya membuang ludah, membuang kotoran hingga menyampaikan segala bentuk makian yang disambut tepuk tangan meriah kemudian abaikan saja.
Jika politik seperti ini berlangsung terus menerus diibaratkan adalah spesies tertentu, anggaplah ubur-ubur yang menyerang banyak samudra guna menutupi oksigen yang berguna bagi ikan dan biota laut lainnya. Dinasti kekuasaannya tumbuh begitu pesat melebihi kecepatan pertumbuhan penduduk. Sehingga setiap orang yang ingin mengatakan politik itu baik, politik itu mulia sampai politik itu membebaskan, sejatinya akan menghadapi serbuan telur busuk ke mukanya sendiri di tengah keramaian.
Polah aktor politik tanah air adalah cerminan dari demokratisasi di sebuah Negara. Samuel Huntington dalam Leo Agustino (2009) menegaskan bahwa demokrasi hanya bisa maju dan berkembang karena aktor politik dan para pembaharu mewarnai system kekuasaan. Dalam konteks Indonesia aktor politik tidak bisa lagi dipercaya untuk membawa harapan masyarakat.
Kita sama-sama menunggu 17 April 2019 mendatang, apakah tetap Jokowi-Ma'ruf Amin unggul atas pasangan Prabowo-Sandi. Atau justru Prabowo-Sandi dipercaya memimpin Negara Indonesia. Siapapun yang diberi amanah oleh rakyat, harus membuktikan janjinya, bukan sekedar janji kosong mendulang suara belaka.
Kali ini, perubahan harus ada. Alasannya, yang menggaji ASN hingga Presiden itu rakyat. Sebab semua penghasilan itu dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat Indonesia, bukan digaji oleh pihak asing. RAKYAT ADALAH RAJA buka boneka.
Asal jangan ada lagi istilah "Mark-up" suara mengalir pada petahana, kandidat yang diasumsikan menjadi pemenang sejak lama. Atau Warga Negara Indonesia menginginkan perubahan atau suasana baru memihak ke Prabowo-Sandi. Tidak usah gembar-gembor, tunggu saja tanggal mainnya dari bilik suara.
Pilihan boleh berbeda, tetapi mari sama-sama memilih pasangan Capres dan Cawapres tahun 2019 sesuai isi hati, jangan ikut-ikutan atau akan menyesal 5 (lima) tahun di kemudian hari. Penyesalan datangnya selalu belakangan, waktu tak dapat diundur lantaran nasi sudah menjadi bubur.