Galian tak bertuan ini sejatinya adalah milik BUMN terbesar di Indonesia. Konon milik Indie Home. Rencananya galian yang telah dicor untuk berdirinya sebuah tower penguat sinyal atau apalah nama teknologinya, maklum agak gaptek.
Jelasnya galian cor ini dihentikan RT 005 dan Rt. 006 Perumahan Bumi Permata Sudiang 1 lantaran kelancangan pihak perusahaan menggali terlebih dahulu sebelum mengantongi izin dari ketua RW dan RT setempat. Terpaksa bangunan yang belum kering tersebut oleh warga ditulisi tanda "PERHATIAN!! TOLONG PEMBANGUNAN INI DI STOP."
Sebelumnya tower serupa sudah kokoh berdiri, tepat ditepi lorong RT 08 depan lorong RT 005, yang membedakan tower tersebut konon milik PT Gajah Mulia Sentosa (WKU).
Kemungkinan besar telah terjadi kesepakatan kompensasi pembangunan tower di atas lahan RT 08, boleh jadi dalam bentuk dibuatkan pintu gerbang oleh pihak perusahaan, bisa juga free wifi selama satu tahun bagi RT 08, kecil kemungkinan free wifi disetujui, asal nominal disepakati kedua belah pihak tower penguat sinyal tanpa hambatan berarti kokoh berdiri.
Rumahnya tetangga saya juga dikontrak vendor hinet Broadband 4G LTE milik Indomaret. Sudah barang tentu bisnis ini menguntungkan pihak vendor, sementara pemilik rumah ketiban rejeki nomplok dikontrak dengan vendor tersebut. Entah berapa lama masa kontrak dan berapa nilainya. Saya tidak mau bertanya lebih jauh nanti disangka mau tahu urusan orang lain, guna meminimalisasi perselisihan dengan tetangga yang sudah saya anggap orang tua sendiri.
Di rumah tersebut, berdiri dua unit tower berada di balkon lantai tiga, satu unit server, satu unit panel terletak di luar ruang tamu. Kesepakatan hitam di atas putih dibuat sebelum tower terpasang sempurna. Menurut anak pemilik rumah, "Sebelumnya ada permintaan untuk dipasangi free wifi selama satu tahun, namun permintaan ditolak pihak vendor."
Alasan mereka, hanya tahu memasang tower dan segala perangkatnya. Urusan kontrak tidak tahu menahu, ada bagian tersendiri. Menurut hemat saya tidak ada salahnya menuruti permintaan anak pemilik rumah untuk memasang free wifi, toh ruginya tidak banyak.
Andai pemilik rumah tidak sepakat dengan perjanjian tersebut, mau dipasang di mana tower-tower 'penyedot sinyal' tersebut. Betul masih ada rumah lain yang mau dikontrak buat pemasangan tower. Tetapi perlu di ingat juga, tidak semua pemilik rumah bersedia diacak-adul sebagai tempat pemasangan tower milik korporasi raksasa yang omsetnya berjumlah miliaran rupiah.
Bisnis provider perangkat teknologi informasi memang tidak murah, untung rugi pasti terjadi. Sudah pasti lebih banyak untungnya daripada buntungnya. Sementara konsumen mendapat pilihan yang sulit, antara nominal rupiah dan kebutuhan internet, pilih mana?
Hingga kini, gundukan tanah bekas galian tak juga memperoleh kata sepakat kedua belah pihak menyetujui kelanjutan pembagunan tower tersebut. Bukannya warga BPS 1 khususnya RT 05 dan RT 06 tidak bersedia mengorbankan lahan, akan tetapi lebih merujuk kepada permohonan izin mendirikan bangunan tower dari pihak Indie Home kepada RW, RT setempat, lantas kompensasi terhadap pembangunan tower terhadap warga itu apa?
Bangunan tower tersebut jelas merusak lingkungan dengan menggali tanah dalam-dalam, dampak radiasi tower terhadap kesehatan warga jangan disepelekan. Ingat kesehatan itu mahal. Semoga bermanfaat dan mohon ma'af apabila ada pihak-pihak yang tersinggung dari tulisan ini.
Makassar, 4 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H