Lihat ke Halaman Asli

Subhan Riyadi

TERVERIFIKASI

Abdi Negara Citizen Jurnalis

Wiji Thukul Simbol Perlawanan Kaum Buruh

Diperbarui: 1 Juli 2017   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dokpri/subhan)

Mengisi akhir libur panjang Hari Raya Idul Fitri tahun 2017 ini kami mengunjungi sebuah Toko Buku Gramedia di Mall Panakukkang, di kota Makassar akrab disingkat MP, jum'at (30/6/2017).

Untuk menuju lokasi tempat tujuan, kami mengendarai Bus Rapid Transit biasa disingkat BRT. Meski terbilang belum lama keberadaan transportasi berukuran "raksasa" ini masih sepi peminat, pasalnya selain keterbatasan armada lamanya jadwal kedatangan BRT menjadi kendala tersendiri. Setidaknya dengan menunggangi BRT perasaan begitu nyaman ketika memasuki kabin BRT, serasa dalam kabin pesawat terbang.

Setelah melalui beberapa halte pemberhentian, BRT yang kami tunggangi sampai juga di tempat tujuan, bergegas kami memasuki MP, sebelum ke toko buku perut keroncongan segera kami mencari lokasi outlet makan yang terdapat di dalam mall. Makanan cepat saji merupakan alternatif terbaik untuk mengisi perut yang tidak bisa diajak kompromi. Akhirnya kami menuju outlet makanan cepat saji menggunakan sistem take away (bayar di tempat, usai makan lantas pulang).  

Dirasa perut cukup tenang, saya melanjutkan hunting buku ke toko buku Gramedia yang posisinya berada di lantai 3 Mall Panakukkang. Tak sabar, mata ini jelalatan mencari-cari buku sebelum memutuskan untuk membelinya. Saya mulai mencari dan terus mengitari ribuan buku yang tersusun rapi berdasarkan klasisfikasinya tersebut. Namun, pada titik jenuh pencarian, akhirnya saya menemukan sebuah buku saku biografi terbitan Kepustakaan Populer Gramedia/Buku Tempo cetakan pertama, Mei 2017. 

Dari judulnya saja membuat penasaran 'Wiji Thukul: Teka-Teki Orang Hilang'. Seri buku saku Tempo: Prahara-Prahara Orde baru. Dalam hati berbisik, "penasaran dengan isinya, beli ah!". Sedangkan buku ke dua jatuh pada judul 'Hidup itu harus pintar Ngegas dan Ngerem' karya Emha Ainun Nadjib tidak lain merupakan suami dari artis kawakan Novia Kolopaking.

Mencari buku di TB. Gramedia Makassar (Dokpri/Subhan)

Sesampainya di rumah, segera saya robek pembungkus plastiknya lalu membaca sekilas rangkuman perjalan hidup seorang Wiji Thukul seorang anak tukang becak, pria yang mempunyai semangat tinggi untuk menumbangkan ketidakadilan. Lelaki cadel itu tidak pernah bisa melafalkan huruf "r" dengan sempurna. Ia "cacat" wicara tapi dianggap berbahaya. Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal. Celananya seperti tak mengenal sabun dan setrika. Ia bukan burung merak yang mempesona.

Wiji Thukul mungkin bukan penyair paling cemerlang yang pernah kita miliki. Sejarah Republik menunjukkan ia juga bukan satu-satunya orang yang menjadi korban penghilangan paksa. Tapi Thukul adalah cerita penting dalam sejarah Orde Baru yang tak patut diabaikan: seorang penyair yang sajak-sajaknya menakutkan sebuah rezim dan kematiannya hingga kini masih misteri.

Namun, bila penyair ini membaca puisi di tengah buruh dan mahasiswa, aparat memberinya cap sebagai agitator, penghasut. Selebaran, poster, stensilan, dan buletin propaganda yang ia bikin tersebar luas di kalangan buruh dan petani. Kegiatannya mendidik anak-anak kampung dianggap menggerakkan kebencian terhadap Orde Baru. Maka ia dibungkam. Dilenyapkan.

Kisah tentang Wiji Thukul adalah jilid perdana Seri "Prahara-prahara Orde Baru", yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo Mei 2013. Serial ini menyelisik, menyingkap, merekonstruksi, dan mengingat kembali berbagai peristiwa gelap kemanusiaan pada masa Orde Baru yang nyaris terlupakan. Benar saja, walau saya belum pernah menemukan buku biografi lengkap mengenai seorang Wiji Widodo --nama asli Wiji Thukul, tapi setidaknya cerita dalam buku ini sudah cukup mewakili pergerakan kaum buruh. Pertanyaannya benarkah pernah ada demokrasi di tanah ini, jika orang yang menulis sajak saja harus dibungkam dan dilenyapkan?

***

Puisi telah menjadi bagian dari setiap tarikan napas Thukul. Di tahun 1986 muncul puisi Wiji Thukul yang terkenal. Judulnya "Peringatan". Puisi ini menjadi bacaan wajib para demonstran. Kalimat terakhirnya: hanya ada satu kata:Lawan! Menjadi sebuah ikon. Inilah bunyi puisinya:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline