Lihat ke Halaman Asli

Subhan Riyadi

TERVERIFIKASI

Abdi Negara Citizen Jurnalis

Obat Epilepsi yang Kini Semakin Langka

Diperbarui: 24 Februari 2017   02:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dokpri/subhan)

Cerita ini datangnya dari dunia medis sebuah Rumah Sakit di Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Dimana Kabupaten ini begitu banyak menyimpan suka duka, sekaligus tempat saya pernah menimba ilmu dan pengalaman hidup di tanah rantau. Cuti tahun 2017 seakan mengulang masa lalu yang pernah hilang, saya akan sedikit menceritakan mendapatkan obat Phenobarbital (Luminal), dimana keberadaannya di Kota Metropolitan mulai musnah bak ditelan bumi. RSUD Kabupaten Ngawi dimana tempat mendapatkan obat yang selama ini paling saya cari.

Awalnya saya bercerita kepada orang tua akan langkanya obat Luminal di Kota Makassar, kelangkaan tersebut tentu saja sangat merugikan kaum minoritas epilepsi. Dalam hati terheran-heran kok bisa, desa sekecil Ngawi begitu banyak stok Luminal?. Apakah ini ada kaitannya dengan tingkat tekanan hidup masyarakat desa lebih ringan dari pada di kota? Apakah desa merupakan tempat jitu menurunkan tingkat stress atau jangan-jangan epilepsi oleh masyarakat desa dianggap “aib” penyakit “kutukan”, menular, penyandang dibiarkan tanpa pengobatan layak sampai ajal tiba. Jika demikian adanya betapa rendahnya pengetahuan mereka akan epilepsi, lebih mempercayai tahayul. Kita tidak bisa melawan kematian, akan tetapi bukankah tidak ada penyakit yan gtidak bisa disembuhkan kecuali malas berobat.

Sekiranya lazim tinggal di desa begitu menentramkan, menyenangkan, menenangkan jiwa dan perasaan, ditambah tingkat ketakwaan kita terhadap Alloh SWT lebih khusyuk, berbanding terbalik ketika kita tinggal di kota besar, selalu disibukkan dengan aktivitas duniawi, hingga persaingan bisnis begitu kompetitif..

sumber: blog.daum.net

Masih banyaknya sawah, lahan terbuka hijau/RTH perontok tingkat stress. Hiruk pikuk kota metropolitan hingga megapolitan perlahan namun pasti drastis habis merubah wajah desa ketika mulai kehilangan sawah dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai lumbung oksigen murni di bumi.

Berkat kuasa Alloh SWT, pergilah saya ke Apotek diantar tetangga tanpa menggunakan resep dokter mencari obat jenis Luminal, obat di maksud itu tersedia akan tetapi Apoteker enggan memberi, ke apotek lain pun sama.

Justru obat yang dipesan orang tua untuk diabetes, asam urat dengan mudah diperjual belikan. Kegagalan mendapatkan Phenobarbital saya utarakan ke orang tua, lalu diberi solusi untuk mencoba mengirim foto resep dokter spesialis syaraf dari Makassar melalui jejaring sosial, kemudian foto resep tadi saya cetak untuk diperlihatkan ke bagian Apoteker ketika akan membeli obat. Hasilnya pun sama, Apotek tidak mau menerima cetakan resep dokter dari tempat asal saya berobat di Makassar. Alasan pertamaobat ini banyak tersedia banyak di Puskesmas serta murah harganya, diperuntukkan bagi peserta Askes maupun BPJS, kedua  Apotek atau Puskesmas bisa mencairkan obat Luminal asal ada resep dokter domisili, kalau di Ngawi harus menggunakan resep dokter dari Ngawi bukan Makassar, Ketiga sebagai laporan ke BPOM, atas beberapa masukan tadi kembali saya konsultasi ke orang tua khususnya bapak.

sumber: wildwalks.com

Pada 16 Februari 2017, berbekal fotocopy resep dokter dari Makassar yang lembaran belakangnya sudah ditulis pesan oleh bapak untuk menemui salah satu dokter RSUD di Ngawi, berangkatlah saya menuju kesana dengan diantar tetangga dekat rumah untuk ditukar dengan resep asli dokter domisili Ngawi. Berkat bantuan dokter berinisial W yang bertepan sebagai murid mengaji dari orang tua saya, atas bantuannya pihak Apotek langsung memberikan obat yang dimaksud. Urusan harga sangat murah sekali meskipun tanpa Asuransi Kesehatan (Askes) dan BPJS, bayangkan 30 biji Phenobarbital generasi dari Luminal hanya membayar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) saja, antara heran dan bingung obat semurah ini, sulit sekali membelinya. Dengan diantar teman lama pulanglah kami menuju rumah orang tua di desa Kandangan-Ngawi.

Ternyata kata dokter disana, Phenobarbital memiliki kandungan psikotropika, jika disalahgunakan reaksinya sama dengan Narkoba, makanya obat ini begitu langka di kota-kota Metropolitan hingga Megapolitan. Saya pun pulang dengan perasaan plong, sesampainya di rumah obatnya saya perlihatkan kepada orang tua dan mereka terheran-heran akan ribetnya mendapat obat murah ini. Menurut buku yang pernah saya baca, langkanya membeli obat-obatan jenis penenang syaraf lantaran dirangsang oleh bisnis peredaran Narkoba yang menelan jutaan korban. Bisnis haram ini untuk kawasan Indonesia saja omzetnya bisa mencapai Rp. 390 miliar lebih, dan diperkirakan 1,3 juta orang Indonesia menjadi konsumennya, boleh jadi korbannya kian bertambah.

dokpri

Sebelum kembali ke Makassar, untuk menyiasati kelangkaan obat Phinobarbital, pada Jum’at 17 Februari 2017 kembali ke RSUD Ngawi untuk menemui dokter W, kali ini saya tidak sendiri melainkan menemani bapak untuk membeli kembali Phinobarbital sebagai cadangan tiga bulan lamanya. Kali ini melalui proses yang agak berbeda, dengan mengikuti prosedur dan tata tertib Rumah Sakit. Langkah pertama saya mendaftar sebagai pasien membayar pendaftaran sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah), lalu diberi nomor antrian serta beberapa berkas tentang pasien sambil menunggu panggilan antrian dokter bagian poli syaraf, tibalah giliran saya dipanggil untuk diinterogasi dokter sebelum dikeluarkannya resep.

Sambil menginterogasi dokter menanyakan beberapa hal, antara lain sudah berapa lama konsumsi obat, pernah kambuh sambil mencatat keterangan dari pasien. Yang terasa agak mendiskriminasi, ketika staf poli bagian syaraf tertawa heran sembari berseloroh, “kok pasien epilepsi beli obatnya 3 bulan saja.” Canda mereka.

Disini saya tidak mau berburuk sangka atas ‘stigma negatif’ staf poli bagian syaraf, mungkin mereka kurang sosialisasi dari Perdosi dan PERPEI tentang EPILEPSI, merasa keheranan ada pasien epilepsi menebus obat disana. Memang pantas ODE seperti saya dan lainnya merupakan populasi terbesar yang tepat untuk dipermalukan oleh tindak-tanduk oknum tenaga dokter, itu hak mereka. Acuh, saya langsung meluncur keluar ruangan poli syaraf usai mendapat resep kemudian menemui bapak dan dokter W, diarahkan ke bagian Apotek dalam RSUD menebus obat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline