Turut Berduka cita atas bencana longsor dan banjir melanda tanah pasundan. Berdirinya Villa-villa mewah diatas puncak bogor berperan atas musibah ini, gedung-gedung mewah milik orang berduit tersebut hanya menguntungkan segelintir oknum dengan menjual alih fungsi lahan, berarti mendatangkan bencana.
Apa boleh buat, kita telah memasuki era baru. Beberapa bahkan menyebutnya sebagai zaman geologi baru, dimana aktivitas manusia secara fundamental telah mengubah dinamika bumi sehingga memberi tekanan terhadap ekosistem yang rapuh.
Eksploitasi alih fungsi lahan para investor menciderai keutuhan alam yang Tuhan sudah berikan untuk berbagi dengan makhluk hidup lain, mereka semena-mena menganiaya hutan dan lahan tanpa memikirkan keberlangsungan hidup masa depan anak cucu kita. Datangnya musim penghujan sekarang bukan saat yang tepat mengobral bencana besar-besaran.
Bencana longsor di Sumedang dan banjir bandang Garut-Jawa Barat yang terjadi pada 21 September 2016 merupakan malapetaka, sebab penyangga kelestarian lingkungan tidak seimbang, hingga memporak-porandakan harta benda serta menelan korban merupakan peringatan bagi pemilik modal serta “pemangku kepentingan” tidak gegabah mengeluarkan ijin alih fungsi hutan dan lahan.
Gambaran sederhananya pepohonan berfungsi sebagai kanopi/pelindung. Maksudnya saat musim penghujan fungsi pepohon sebagai kanopi, agar air hujan tidak langsung menyentuh tanah, sedikit demi sedikit meresap ke dalam tanah. Setidaknya terlebih dahulu air hujan merambat melalui dedaunan, perlahan turun meresap ke tanah kemudian diserap akar-akar pohon sebagai cadangan air bawah tanah. Kalau hutan dan lahan rusak air hujan langsung menyentuh tanah, akibatnya tanah tersebut berhamburan mengalami erosi terbawa derasnya hujan langsung longsor atau masuk ke sungai dan masuk ke laut akhirnya sebagian air laut keruh atau sedimentasi akibat hutan gundul.
Cukup diakui ekspansi sektor pariwisata termasuk keberadaan villa elite, tambang, dan pertanian mengurangi luasan kawasan hutan. Kesombongan manusia terbukti menjadi kenyataan, longsor di Sumedang dan Garut merupakan peringatan. Sesungguhnya kekuasaan Alloh SWT tak terbantahkan tidak ada satu makhluk hidup yang menundanya.
Pemerintah dari puluhan tahun lalu seharusnya jeli mlihat keselamatan masyarakat “miskin” yang mendiami pinggiran sungai manuk agar mengantisipasi bahwa area tersebut rawan bencana, baik banjir, maupun longsor. Peristiwa ini sebagai tanda bagi pemegang kebijakan setempat, bahwa ada kekeliruan pengelolaan lingkungan terhadap tata ruang. Namun, dominasi untuk memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) melalui pengembangan sektor wisata dan pertambangan, sehingga melalaikan sebuah peringatan.
Bahkan bencana diperjual belikan demi kantong pribadi, hutan rusak, sungai dangkal, gunung-gunung tandus, bukit-bukit sakit. Daerah-daerah tangkapan air alami berubah fungsi menjelma Taman Wisata Alam buatan tangan manusia. Dimana pengusaha pemilik modal berkonspirasi dengan pemerintah setempat menyulap hutan konservasi menjadi wahana wisata, tidak menutup kemungkinan pembangunan berupa cor semen dan beton berdampak pada bencana ini.
Menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Jawa Barat, bencana banjir menelan korban meninggal sebanyak 23 orang meninggal dunia, 18 orang belum ditemukan. Kerusakan lingkungan merupakan penyebabnya akibat campr tangan manusia.
Jangan rusak tumbuhan
Berbagai jenis tumbuhan banyak memberi manfaat bagi manusia. Manfaatnya tidak perlu diragukan lagi, saat musim kemarau tumbuhan tersebut akan menyimpan cadangan air, sebagai kebutuhan utama manusia. Ketika musim penghujan akan akan menghindarkan manusia dari bencana banjir dan tanah longsor, maka sudah kewajiban manusia menjaga kelestariannya.