Lihat ke Halaman Asli

Subhan Riyadi

TERVERIFIKASI

Abdi Negara Citizen Jurnalis

Gagal Menikah Gara-gara Uang Panai, Haruskah?

Diperbarui: 17 September 2016   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa kali saya sering melihat bahkan ikut hadir memenuhi uandangan perkawinan masyarakat Bugis-Makassar. Entah ini aneh atau memang keharusan, ada yang mengganjal pikiran saya. Haruskah PANAI’  menjadi momok menakutkan bagi mempelai laki-laki?? Adakah yang mampu menjelaskan dari mana asal muasal hal seperti itu???

Belum lagi kalau calon mempelai wanitanya punya strata sosial serta tingkat berpendidikan tinggi, prasarat penentu jumlah uang untuk melamar. Bahkan jika keluarganya ikut andil, akan menjadi boomerang bagi pihak laki-laki. Makanya tidak jarang mereka terpaksa melakukan aksi nekat 'silariang' (kawin lari) kompleksitas merupakan jalan pintas terakhir yang harus di tempuh, tanpa memikirkan akibat yang terjadi dibelakang, walau aib sekalipun buat keluarga besarnya.

Bahkan pernah saya mendengar bahwa uang PANAI gadis Bugis-Makassar sampai Rp. 500 juta melebihi harga sapi atau tedong bunga (kerbau bule di Tana Toraja) kisaran Rp. 200 jutaan. Sangat disayangkan moderenisasi belum seluruhnya merubah mindset intelektualitas, tergadai uang panai begitu prestise. Memangnya anak wanita itu barang jualan kah...???

Kok pakai tawar-menawar ya!

Kalau mau tawar menawar bukankah di pasar. Pasti banyak pembelinya...

Apakah salah kalau saya berpendapat seperti ini?

Bagi perantau seperi saya tidak berani melamar dengan mahar sebanyak itu, hanya berkata dalam hati, “Kalau berniat menikahi gadis  Bugis-Makassar berstrata darah biru/ningrat, Syarat pertama  kaya raya. Kedua mampu memenuhi permintaan calon mempelai wanita. Ketiga siap-siap kecewa karena ditolak, lantaran tidak ada kesepakatan.” Memang kenyataannya seperti itu, ketika ditolak siri’ pantang melamar untuk ke tiga kali.

Setelah terkumpul uang panainya baru sepakat, menggelar pesta perkamwinan tersebut meriah.  Ada seserahan/erang-erang, dekorasinya mewah, prasmanan lengkap dan melimpah untuk menjamu tamu undangan jumlahnya ribuan.

Belum termasuk sewa gedung untuk menggelar pesta, sewa pakaian pengantin mewah bersulam sutera, dengan maksud dan tujuan buat menyenangkan para undangan, apatah lagi dari keluarga terpandang tentu sesuatu yang wajib digelar.

Belum lagi rangkaian ERANG-ERANGnya (seserahan yang diberikan kepada mempelai wanita) harus bernilai tinggi. Zaman modern seperti sekarang harusnya uang panai disesuaikan kondisi perekonomian calon suaminya. Tidak boleh hanya memandang strata kaya saja. Apalagi mereka dilandasi rasa suka sama suka bukan dipaksakan. Daripada menikah karena kecelakaan/hamil duluan, pilih yang mana? Ujung-ujungnya keluarga juga yang malu.  Demi uang panai Rp. 100 juta hingga Rp. 200 juta megorbankan perasaan cinta anaknya demi pengakuan identitas ditengah masyarakat.

Menikahi gadis Bugis-Makassar “mahal” tidak semudah membalik telapak tangan bagi keluarga pas-pasan, disebabkan uang panai. Sangat disayangkan hingga mengundang rasa iba ketika berhadapan dengan cinta yang begitu mahal terbentur uang mahar. Jangan heran masih banyak pemuda yang belum mapan belum berani melamar kekasihnya, kasihan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline