Satu bulan penuh kita ditempa akan nafsu birahi, kini bulan suci Ramadhan pergi meninggalkan kita semua. Seruan takbir, tahlil, tahmid berkumandang melalui masjid-masjid atau surau perantara pengeras suara sebagai tanda menyambut ied mubarok, sambung menyambung menjadi satu tanpa jeda hingga ritual sholat ied terlaksana.
Tidak cukup sampai disitu saja, di kampung-kampung arakan konvoi takbir keliling pun mewarnai kemenangan meski pemerintah telah melarang mengadakan konvoi, secara garis tangan tradisi tersebut sulit di larang, pun tak terhindarkan letupan gegap gempita petasan.
Sebagai rasa syukur kita terhadap sang pencipta, keesokan harinya di gelar ritual suci sholat iedul fitri, hingga suasananya ibarat panggilan ke tanah suci menghadap sang Ilahi, seakan tak mau kalah khotbah ied pun hukumnya fardhu khifayah bagi jama’ah agar hidup lebih terarah.
Iedul fitri menjadi afdol dengan silaturohim ke sesama saudara muslim, di kalangan pemerintahan/birokrat biasa disebut Halal bil Halal mempunyai misi melenyapkan yang haram-haram. Open house juga andil sebagai ritual khusus bagi publik figure seperti presiden, gubernur, walikota hingga bupati bahkan camat.
Entah sejak kapan sholat ied diselenggarakan di tanah lapang, atau mungkin memiliki maksud dan tujuan membentang keharuan berjama’ah, beralaskan koran berbalut sajadah. Koran bekas disimbolkan sebagai kesialan/noda lantas dibiarkan menghampar begitu saja, sajadah pertanda hati yang bersih suci seperti bayi untuk menginstall kembali dalam mengarungi kehidupan sebelas bulan ke depan. Coba kita tanyakan saja pada rumput yang bergoyang atau kyai/uztad/uztadzah. (Kata Ebiet G. Ade).
Disitu terkadang aku sedih, usai sholat ied selalu bertebaran sampah-sampah berupa koran-koran bekas mengotori padang ilalang dan jalanan, kini hal itu tidak perlu dirisaukan, secara otomatis pasukan sapu bersih akan turun tangan memungut sampah- sampah koran tersebut. Pekerja mulia ini disebut payabo’ (bhs. Bugis/makassar) maaf jika salah dalam penulisan, silahkan di koreksi, bahasa sehari-hari biasa kita sebut pemulung, secara protokoler melakukan mulung terlahir dari keterdesakan ekonomi yang tak berkesudahan, melatarbelakangi adalah kemiskinan yang sering bersifat struktural. Dalam kasus-kasus tertentu terkadang pemulung lebih kaya dari PNS, karena komplotan mereka seperti jaring laba-laba, satu terputus akan muncul jaring yang baru begitu seterusnya hingga pemerintah memberikan solusi bagi mereka, sebelum menjatuhkan sanksi larangan memberi uang bagi gelandangan dan pengemis di jalanan.
Secara tidak langsung kita telah meningkatkan pendapatan pemulung, sedang pemulung telah membantu memungut sampah lalu menjualnya demi mempertahankan hidup ditengah labilnya fluktuasi perekonomian bangsa ini. Keterdesakan ekonomi juga menggelapkan mata hingga bertindak nekat seperti maling, mencopet, merampok, menipu, untuk mencapai kemakmuran. Kasta elitenya mark up/korupsi meski bulan suci dan iedul fitri sama saja, tak banyak berarti.
Struktur kebijakan pemerintah terkadang sering tidak memihak kepada kaum yang lemah sehingga yang miskin semakin miskin, sedangkan orang yang kaya semakin kaya.
Hal ini tradisi rantai makanan hubungan simbiosis mutualisme saling menguntungkan tanpa kesepakatan, dimana umat muslim usai sholat iedul fitri menebar sampah surat kabar bekas, sementara pekerja mulia memungut sampahnya dijadikan rupiah.
Di hari raya nan fitri saya kembali teringat “sampah usai sholat iedul fitri mengundang berkah”.
Makassar, 20 Juli 2015