Lihat ke Halaman Asli

Bulan, Penyair, Puisi

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, ada sebuah desa yang sangat terkenal. Desa itu berada di ujung sebuah negeri antah berantah, sebut saja nama desanya sukadamai. Penduduk di desa itu tidak terlalu banyak juga tidak terlalu sedikit. Suasana di sana sangat kondusif, aman, damai, tenteram, tata titi tentrem karto tur raharjo. Cuaca disana tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin. Angin selalu berhembus semilir, sepoi-sepoi. Bahkan jika  musim penghujan tiba, airnya selalu turun dengan khidmat. Sawah membentang dari ujung timur ke ujung barat, hutan menghijau begitu perawan di balik bukit. Gunung-gunung setia dan tabah mengelilingi desa.

Jika sang fajar tiba mengantarkan matahari menduduki tahta. Maka matahari akan dengan gembira menyiangi desa ini. Menyinari dengan sinarnya yang hangat, bukan dengan panas yang menyengat. Matahari selalu senang mengamati penduduk desa yang rukun dan damai. Menemani mereka pergi ke ladang ketika pagi dan menambah suhu panas di alam ketika siang hari agar para penduduk tidak terlalu asik bekerja hingga lupa istirahat.

Ketika sore tiba maka sang penjaga; malaikat senja, akan menjemput raja matahari turun dari tahtanya dan mengantarkan dewi rembulan untuk menggantikan menyinari alam ketika hari menjadi gelap. Di desa ini, waktu itu, bulan selalu purnama. Terlihat membulat dan begitu cerah. Begitu terang hingga tikus di sudut sawahpun bisa terlihat. Saat itu bulan memiliki cahayanya sendiri, tak butuh bantuan matahari untuk bersinar. Bersinar begitu bulat, terang dan cantik.

Para penduduk di desa mempunyai suatu tradisi untuk menghormati dan bersyukur pada alam raya. Mereka menciptakan tari-tarian, mendendangkan musik pujian, mempersembahkan hasil bumi untuk seluruh alam. Sayangnya tidak ada puisi di sana, tidak ada syair, tidak ada sajak, bukan krena penduduk tidak menyukainya, tapi karena mereka tidak tahu apa itu puisi, apa itu sajak.

Suatu hari ketika masa panen tiba, penduduk bergembira karena hasilnya melimpah. Malamnya mereka memutuskan untuk melakukan ritual upacara persembahan. Dewi rembulan merasa senang, ia ingin memberikan hadiah untuk seluruh penduduk desa. Tanpa pikir panjang sang dewipun memberikan selendang bersulam benang emas miliknya.

Selendang itu seukuran selendang-selendang biasanya, yang membedakan adalah, motifnya yang disulam menggunakan benang emas yang diambil dari sinar raja matahari. Konon, selendang tersebut bisa membawa siapapun yang memakainya terbang ke bulan untuk bertemu dengan sang dewi. Para penduduk bersorak gembira mandapat hadiah yang begitu mewah. Para sesepuh yang mengetahui kesaktian benda itu menyuruh warga agar meletakkannya di kuil terlarang, supaya tidak dicuri dan dipakai oleh orang-orang yang jahat.

Tahun demi tahun selalu dilewati dengan bahagia oleh penduduk desa tersebut, mungkin hanya sakit dan kematian yang bisa membuat mereka bersedih. Berita mengenai keberadaan desa ini terdengar seantero negeri. Desa sukadamai, siapa orang yang tidak pernah mendengar dan tak ingin pergi kesana? Banyak orang dari penjuru negeri ingin pindah, singgah, atau hanya sekedar ingin tahu desa ini. Tapi tak seorangpun yang pergi mencari itu pernah kembali. Desas desus yang terdengar, kisah mengenai desa ini akhirnya hanyalah menjadi mitos belaka. Hanya dongeng pengantar tidur bagi si kecil. Alam sengaja menyembunyikan keberadaan desa sukadamai karena tidak ingin desa ini dirusak oleh para pendatang. Semua berjalan seperti biasa, hingga saat bencana itu tiba.

*

Beberapa tahun sesudahnya, di tempat yang berbeda.

Siang itu hujan dengan ganas mengguyur kota. Suasana di kedai teh menjadi ramai pengunjung. Ada yang hanya ingin menumpang berteduh, ada pula yang memang ingin menikmati sepoci teh hangat di tengah hujan yang dinginnya hingga ke sumsum tulang. Pria itu duduk di pojok kedai sebelah jendela, matanya nanar menatap ke jalanan di luar sana.

“Duhai penyair pengelana, bersyairlah untuk kami agar terhibur hati ini, menikmati hujan yang tak kunjung berhenti” teriak seorang di belakang pria itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline