Lihat ke Halaman Asli

Kepentingan Militer dalam UU Pemilu Myanmar

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 7 November yang akan datang, Myanmar akan menyelenggarakan pemilu. Pemilu ini merupakan salah satu pemilu bersejarah di dunia. Pertama, ini adalah pemilu pertama yang diadakan setelah pemilu terakhir 20 tahun yang lalu. Kedua, pemilu ini bertujuan untuk membuktikan bahwa Myanmar adalah negara yang demokratis.

Tetapi, melihat praktek-praktek tahapan kepemiluan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar, sulit untuk menyebut pemerintah Myanmar adalah dan akan menjadi negara demokratis. Dimulai dari penolakan rezim militer terhadap hasil pemilu 1990, penyusunan konstitusi, referendum,hingga pelaksanaan sosialisasi pemilu. Dan entah apa lagi pada hari H dan pasca pemilu.

Dari UU Pemilu itu saja, kita dapat melihat banyak pasal-pasal yang membuktikan adanya keinginan militer untuk tetap memegang kekuasaan. Hal ini memungkinkan militer melanggar hak-hak fundamental rakyat atas nama keamanan negara dan ketentraman umum.Siapapun yang mengkritik proses dan prinsip-prinsip UU Pemilu akan dihadang hukuman penjara hingga 20 tahun.

Salah satu tujuan diadakannya Pemilu di Myanmar adalah peralihan kekuasaan dari militer ke sipil. Tetapi Pasal 6 dalam UU Pemilu Burma jelas-jelas mengatakan bahwa "memungkinkan Departemen Pertahanan untuk dapat berpartisipasi dalam kepemimpinan politik Nasional Negara."Jelas, junta militer tidak ingin melepas kekuasaannya.

Hal lain lagi adalah aturan pencadangan 25% dari jumlah kursi yang tersedia baik di Parlemen Nasional (DPR), Parlemen Negara Bagian dan Regional (DPRD) untuk militer. Anggota parlemen yang akan duduk di sana adalah orang yang ditunjuk oleh militer atau dengan kata lain, orang militer itu sendiri.

Melalui UU Pemilu ini, militer juga menghalangi sejumlah pimpinan oposisi untuk ikut serta menjadi kandidat dalam pemilu, bahkan tidak mengizinkan untuk ikut pemungutan suara di hari H. Termasuk Suu Kyi dan 2.000 tahanan politik lainnya.

Militer juga menghalangi hak politik rakyat dengan tidak melaksanakan pemilu di 300 village tracts (kelompok desa) dan 4 township (kelompok kota) di beberapa negara bagian. Alasan yang dimunculkan adalah karena daerah-daerah tersebut ‘tidak memungkinkan untuk penyelenggaraan pemilu yang bebas dan jujur’. Tetapi ditengarai, alasan sebenarnya adalah negara-negara bagian ini tidak mau menerima pengaruh militer.

Karena itu, keputusan pemerintah Myanmar yang menolak keberadaan pemantau pemilu dan media internasional untuk meliput pelaksanaan pemilu menimbulkan kecurigaan dan menambah keyakinan masyarakat internasional terjadinya banyak pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu ini.

Catatan : 1 village tracts terdiri dari 2 atau 10 desa. 1 township terdiri dari 2 distrik dan beberapa village tracts.

Penulis adalah pemantau pemilu Indonesia dan Asia. Bergabung di KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) Indonesia sejak 1998 dan pendiri INDEPTH Indonesia, divisi Election Monitoring.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline