Rokok itu sudah seperti beras! Ucap seorang pemilik warung kelontong. Bayangkan banyak orang yang lebih memilih membeli rokok sebatang dua batang dalam sehari ketimbang membeli seliter beras atau bahkan sebungkus mi instan meski untuk makan anak-anaknya. Buat para perokok hidup tanpa rokok itu berat. Mengantuk, tidak bergairah, seolah kehilangan semangat menjalani hari.
Padahal edukasi pada masyarakat juga sudah begitu sering didengungkan bahwa nikotin itu racun! Bukankah di setiap papan iklan rokok pun tertulis bahayanya merokok (memang sih kecil-kecil tulisannya). Tapi jumlah perokok di Indonesia tetap saja meningkat. Anak-anak sekolah, anak-anak kuliah, mereka yang disebut investasi bangsa, perlahan mulai digerogoti racun nikotin.
Seorang ibu yang sudah separuh baya dipaksa tak berdaya setelah kanker paru-paru stadium 4 menggerogotinya. Padahal informasi tak kurang dari seluruh keluarga tentang bahaya merokok. Tapi jelaslah rokok itu candu. Tak mampu berhenti sampai tubuh yang benar-benar tak mampu. Tak bisa menyalahkan pabrik rokok, mereka merasa punya hak berdagang, tak bisa menyalahkan iklan, mereka mungkin kurang kuat menghimbau. Siapa yang paling berperan atas semua? diri kita. Pilihan kita untuk tetap sehat, pilihan kita untuk terus hidup dengan tubuh yang kuat, pilihan kita untuk dapat usia yang penuh manfaat. Tapi jelas bukan pilihan kita untuk hidup dengan berbagai kesakitan di badan, bukan pilihan kita meninggal dengan banyak meninggalkan kesulitan pada keluarga, bukan pilihan kita untuk pergi dari dunia hanya karena candu.
Semangati diri untuk berhenti, lepaskan pergaulan dari orang-orang yang banyak mempengaruhi, meminta dukungan penuh dari seluruh keluarga, dan tanamkan pengawasan atas diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H