Pandemi covid-19 yang menggejolak di tahun 2020 ini memang telah membuka jendela kemungkinan dengan varian lebelnya. Dan lebel ekonomi adalah yang paling trasnparan terlihat.
Gemuruh pandemi secara kuat mengisolasi pergerakan laju ekonomi dan mengharuskan kita untuk hidup bertahan ditempat.
Secara ekonomi, bertahan berarti harus mengeluarkan dari diri sesuatu entah itu uang tabungan, barang berharga untuk digadaikan, dijual bila perlu untuk melengkapi dan memenuhi kebutuhan tanpa ada harapan pemasukan tambahan dari luar. Dengan begitu, pandemi memberi isyarat bahwa siapa saja yang bedompet tebal akan kokoh dan tegar dan berdompet tipis akan layu dan bahkan mati.
Pandemi ini merupakan bencana sosial yang menggusur dan bahkan geliatnya mampu menyeleksi keberuntungan setiap orang. Untuk hal ini boleh kita kacai pengalaman diri masing-masing soal kekurangan, kecukupan, ketahanan hidup dan prediksi keberlanjutan pemenuhan kebutuhan hidup entah sampai kapan.
Namun kalau boleh diringkas, pandemi telah menenggelamkan orang lemah-miskin menjadi begitu terpuruk dan mengusung ketidakpastian pada aneka usaha mereka yang giat berjuang dan juga peluang meraup keuntungan dengan cara baik tercela maupun terhormat bagi pemodal ataupun pejabat.
Lantas, jika pandemi dikategorikan sebagai bencana sosial yang telah menimpa semua orang, bagaimana dengan bencana alam seperti lahar panar Rokatenda yang lebih dahulu telah mengguyur masyarakat di Pulau Palue?
Bagaimana nasib dari setiap mereka yang harus mengungsi dengan menyebrangi lautan? Apa saja harta yang paling berharga yang harus mereka bawa serta untuk mencukupi kehidupan ditempat pengungsian?
Rokatenda dan pandemi yang dilalui Bhonafantura
Beberapa bulan lalu dalam suatu kegiatan di Kota Maumere, saya bersama kedua teman berkesempatan untuk mengunjungi beberapa tempat pengungsian akibat letusan gunung Rokatenda diseputaran daerah Nangahure, Desa Hewuli kecamamtan Alok Barat, kabupaten Sikka, NTT. Rupanya jarak tempat ini tidak begitu jauh dari pusat kota Maumere.
Di sana kami menjumpai begitu banyak para pengungsi dengan kondisi hidup seadanya saja. Mereka sebagaian besar berasal dari kampung Awa, Desa Nitung Lea yang merupakan lokasi terdekat dengan Gunung Berapi Rokatenda yang mengamuk tahun 2012 silam.