Lihat ke Halaman Asli

Viator Henry Pio

Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Cerpen | Kebijaksanaan Pedang

Diperbarui: 14 April 2020   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dari cahaya bangsa.blogspot.com

Berikanlah bayi yang hidup itu kepada perempuan pertama dan janganlah membunuh anak itu sebab perempuan itu ibunya.

Kini tragedi kerajaan mulai mewabah. Tercium jelas aroma kebusukan dan kerakusan. Kelopak terasa pedih oleh panorama yang terhias dengan keangkuhan dan kebengisan. Penghuni kerajaan ditawan kegelisahan. Hidup yang teranugerah harus dihadapkan pada pilihan.

Setiap pilihan adalah kematian untuk membenarkan. Kebenaran ibarat pedang yang siap merajam demi memperkokoh keberadaan. Istana kini berwajah darah. Pemerintahan kejam mengantar penghuni pada kedukaan bisu. Tanpa kata. Diam. Semua hanyut dalam lembah ketakutan karena darah dan kematian selalu membayangi suasana.

Pekikan keadilan terselubung dibalik kekalutan. Terbungkus rapi dalam nada dan suara yang tak terlontarkan. Tawa para petinggi istana menggelegar namun nyanyian para penduduk senduh melarat. Mereka yang terpinggirkan itu harus menggali asa dan menuainya diujung jalan ketidakpastian.

Berjalan sambil menangis menjadi moto perjuangan dalam menyusuri kemegahan kota penuh janji yang entah sampai kapan berdiam di dada mereka. Mereka orang-orang berkuasa. Mereka mempunyai pilihan untuk menempatkan raja pada kursi kemegahan itu.

Namun mereka terpinggirkan oleh kebodohan yang terus menghimpit ke jalan kegersangann. Mereka adalah pemenang. Mengapa terlihat seperti orang-orang kalah? Bukankah itu kebodohan? Dan kebodohan telah menyudahi kebahagiaan yang seharusnya akrab dengan urat nadi mereka.

Penghuni kerajaan yang malang itu mungkin telah dimabukan dengan janji-janji palsu sehingga mereka lengah menentukan pilihan. Mereka terbius oleh pekikan slogan busuk lagi munafik yang nyaring menggema namun hampa.

Mereka terlalu dini untuk pasrah pada guyonan sang tangan besi yang kini menggiring mereka pada langit tanpa harapan. Asa mereka terlalu cepat diletakan pada pundak yang lumpuh dan tak mampu memikul. Lemah. Pada telinga yang tak mampu mendengar. Pada hati yang tak mampu merasa. Pada kaki yang tak mampu beranjak. Pada pikiran yang tak mampu menuntun lagi mengakhiri penderitaan. Pada suara yang tak bisa bergaung. Pada mata yang lebih melihat keriaan pementasan negeri daripada mencari kealpaan orang-orang kalah. Dan pada jiwa yang haus yang tak mampu menyelamatkan.

Kepercayaan mereka terarah pada raja yang belum habis membangun dirinya sehingga pemerintahannya hanya pada kepentingan diri. Asa dipasung. Semakin lama mereka dicekam pada kekerdilan dan mati karena kebodohan dalam memilih. Kini logika pilihan mendera mereka. Pilihan menyelamatkan juga mematikan.

Terlahir dalam lingkup peperangan. Ada kepastian bahwa hidup akan senantiasa digiring ke arena pembataian. Dididik dalam nuansa persaingan terlihat jelas kengerian dalam mengadu kekuatan. Diasuh dalam situasi kekerasan mengantar mereka menutup hati tuk merasakan kelembutan belas kasih dan cinta. Diasa pada alam tanpa kata tidak mencuat dalam diri mereka kejelihan untuk membedakan kebenaran dan kepalsuan. Diasi lagi ditegarkan dengan keriuhan cerita kekejaman generasi silam membuat mereka lupa akan kedamaian. Yang tak terlupa bahwa generasi mewartakan kepahitan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline