Kami merangkulmu saat fajar timur tersenyum
Hingga binarnya membungkus jagat satu tatapan
kami menjamahmu laksana malam melukis dinding kuil
Berbatas purna dalam satu denyutan
Hingga gelap pun tak beruang
Kini tak lagi riang seramai dawaimu
Kala berjejak pada jemari
Kini lara telah berujung dalam syair
Kala suara gitarmu mengalun
Yang nadanya tercengkram di serambi
Engkau hanyalah pendawai
Yang memantik sanubari saat kopi tua menghitam rasa
engkau hanyalah pengagum yang lelap dalam polesan irama
terdengar sendumu sepolos nyanyian bujang
dan ceritamu masih terpenjara disini
Pernah berawal
Ketika nada serakmu merekah
Dengan bara sorak yang memuncak
Akhir kita
Ternyata dalam senar tak berpadu
Yang membaris tak searah petikan
Sehingga harmoni tak semulus peredaran bulan
Kami ingin menangis
Namun isakan kami tak bergelora
Tuk damaikan hari yang terluka
kami ingin mencecap lagi gelegar suaramu
Seperti pengantin yang kagum akan semarak pesta pernikahan
Di baranda yang bisu ini
Untuk gelap yang sudah pekat
Kepada hari yang telah beranjak
Kepada langkah yang tak berjejak
Untuk rindu yang tak bertubuh
Untuk syair yang tak bersenandung
Kami doakan
Glen,
Engkau adalah saksi yang tak bertubuh
Dengan aroma nilai yang tak terindra
Jujur, air mata kami berderai
membaris lagu-lagumu
Entah sampai kapan berujung
Ini tentang melodi yang tak berbirama
Kepada notasi yang tak lagi bertuan
Ini soal tangisan yang tak menguping
Kepada rasa yang telah kelu bahkan kaku
Mungkin pangkuan tak sehangat terikan mentari
Mungkin raut tak seagung rembulan
Dan teriakan tak semerdu kicaun burung
Dan kata tak selegah tirta
Akhirnya, kami mengerti
mengapa engkau tergelincir begitu cepat
dari sela palungan pertiwi ini
Puisi ini diperbarui dari blog pribadi "Azzura.xyz", kota karang, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H