Lihat ke Halaman Asli

pintukata

Menulis Bebas.

Sosok Melankolis

Diperbarui: 13 Desember 2021   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

            Senin yang cukup membuatku tegang dan ketar-ketir. Tapi itu semua sudah lewat, dengan hela nafas yang cukup lega. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat empat puluh satu menit.

            Beberapa di antara kalian mungkin sudah siap-siap untuk tidur, rebahan di atas kasur. Sekedar geser atas bawah gawai. Melihat yang menarik, menonton, atau sekedar membaca komentar aneh warga daring.

            Kita berada di kubangan baru bernama dunia dugital atau media sosial, atau laman google atau semacam intelektualitas kawanan twitter. Mungkin kalian juga sedang menunggu tayangan perdana Spider-man : No Way Home. Rumor sudah banyak beredar, dan pertanyaan-pertanyaan bermunculan mengenai apakah memang Tobey dan Andrew juga ikut terlibat dalam film sekuel ini.

            Hidup kita dimotori media, kesukaanku pun dibaca oleh algoritma tiap harinya. Aku bahkan kehilangan kendali atas itu. Padahal yang aku cari bukanlah sesuatu yang telah aku lihat kemarin, tapi mesin daring tersebut menawarkan nontonan yang satu genre. Aku ingin beralih hidup tenang tanpa pemantauan, atau jebakan.

            Aku ingin bersembunyi dari layar kaca yang begitu berkilau di tengah malam. Aku pun ingin tidur dengan tenang, bermimpi dan bangun lagi dengan keadaan yang lebih segar daripada hari sebelumnya. Aku bahkan ingin kembali ke masa kecilku dulu, yang hanya mengenal katapel dan kelereng. Aku suka bermain sepak bola dengan pamanku di sore hari sebelum senja berakhir.

            Setiap hari libur, aku selalu bergegas beranjak pergi ke sawah melihat kecapung yang terbang beriringan mengelilingi ranting-ranting padi yang hijau. Terkadang, jika itu adalah hari keberuntungnku, biasanya ada layang-layang yang jatuh di depanku. Layangan yang putus sebab kalah bertarung, mungkin saja benang yang digunakan bukan benang cap cobra, atau cap semut merah.

            Setiap pagi pun aku sisihkan waktu setengah jam sehabis sholat subuh untuk pergi berjalan mengitari kampung tanpa sendal. Kebetulan trotoar kami yang beraspal tak rata. Bebatuannya pun timbul tenggelam, jadinya cocok untuk kesehatan kaki, jamak orang kampung menasihatiku.

            Aku tak suka berkelahi. Saat teman sekelas mengajakku ke tempat paling asing bagiku, aku akan menghindar dan berusaha menolaknya. Aku penakut. Takut kedalaman sungai yang menyebabkan aku tak bisa berenang. Juga aku takut ketinggian, tapi kalau mimpi dan harapan, aku tancapkan di antara bintang-bintang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline