Kita rayakan tangis bersama malam ini. Aku kamu kalian berada dalam posisi yang sama, sedang merasakan luka yang cukup pedih. Derita yang dibalut pilu dan tangis. Apa sebabmu menangis tiada henti?
Aku menangisi seseorang yang telah lama ku yakini, bahwa dia adalah jodohku kelak. Jadi, saat aku mendapati dia mulai menjauh dariku, aku perlahan terdiam. Mematung. Dalam beberapa waktu. Pikiran pun melayang kembali ke masa lampau. Aku kembali mengingat-ingat sesuatu yang telah aku lakukan untuk dia. Entah, itu disebut dikatakan sebagai perjuangan seorang lelaki atau bukan, aku tak mengulik determinasi subjek perbuatan itu.
Aku lebih merenungkan hal-hal yang substansial, yang tercipta dalam perjalananku selama berkenalan, bersinggungan, dan pada akhirnya menciptakan sesuatu yang membekas dalam dada. Seperti layaknya taman, aku bercocok tanam, merawat tetanaman, mengamatinya, melindunginya dari hama, selalu menyirami, memberinya pupuk, dan senantiasa memotong dedaunannya yang telah layu, hingga suatu saat ia berbunga, dan mekar. Ia menebar semerbak aroma bunganya, mewangi, sungguh mewangi. Aduhai.
Kamu bagaimana? Aku menangisi hidupku. Hidup begitu sunyi bagiku. Aku selalu dipenjarakan dalam kesendirian. Aku selalu temui sepiku di mana pun aku berada. Bahkan di tengah keramaian, di situlah aku mulai sadar bahwa aku orang yang paling sepi, yang tenggelam dalam sunyi, terkesiap seluruh suara. Tiada yang lebih baik, dari pada suara air yang mengalir dalam selang-selang pipa di pojok kiri atas dinding kamarku, begitu pun tetes terakhirnya yang berirama.
Bayangkan, selama kamu terdiam di kamar sendirian tengah malam. Tiada suara satu pun, Cuma tetes air yang mengalir itu yang mengusik telingamu. Aku pastikan, pikiranmu akan terbang menuju tempat paling jauh dalam hidupmu. Kamu bisa membayangkan begitu indahnya Selandia Baru, negara yang damai, indah, sejuk, bahkan aku sendiri ingin menghabiskan masa-masa tuaku di tempat semacam itu. Begitu tenang, jauh dari hiruk pikuk jalanan kota, asap knalpot, sepatu hitam pekat yang berjalan tergesa-gesa sebab rapatnya segera dimulai dalam beberapa menit, atau suara tangis bayi yang baru lahir melihat dunia di rumah persalinan.
Semua orang mengasah ketangkasan dirinya pada suatu hal. Ia akan terus berlatih sungguh-sungguh. Dengan teguh memperlakukan waktu seperti budaknya sendiri. Bahkan ia tidak ingin tunduk pada sang waktu. Sebab, jika waktu dibiarkan, ia diam-diam membunuhnya begitu sadis, tanpa senjata tapi mematikan.
Orang bersikap tegas dalam pendiriannya, sangat kolot, dan tak mau terbuka dengan kemungkinan yang baru. Bahkan ia tak menghendaki tawaran jalan yang lebih mudah menuju suatu tempat. Ia tetap memilih jalannya walau itu terjal dan berliku. Sebab ia meyakini pilihannya, dan pilihan itu adalah doktrin hidupnya. Itulah sebabnya, ia tidak akan mempersilahkan orang lain memasuki dapur pribadinya. Baginya, orang lain cukup menikmati hidangan yang telah ia sajikan untuk mereka.
Hidup itu seperti sandiwara, aku kamu kalian hanya berperan. Bahkan jika ditelisik lebih jauh lagi, kita semua tidak memiliki identitas dan personalitas apapun di dunia ini. Kita yang semula tiada, lalu diadakan, dan mengada-ada, tapi tetap sejatinya tiada. Jika Anda berharap yang menulis tulisan ini adalah aku, Anda salah besar. Ini tanganku, bukan aku, ini pikiranku bukan aku, ini hatiku bukan aku, ini pintu kata bukan aku. Bahkan aku menamai itu, tapi bukan aku.
Aku menamaiku, agar mudah diidentifikasi dan disepakati bersama keberadaanku, meski pun aku tak mengamini itu. Aku pun tak sanggup menanggung bebanku sendiri. Apalagi jika Anda menawarkan hal lain bagiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H