Pagi ini, burung-burung bersorak-sorak riang
bersiul tembang merdeka
mengelilingi beton-beton yang membubung perkasa,
hamparan jalan milik orang-orang miskin
yang menodong pesangon per-kilometernya,
cerobong-cerobong pengepul teknokrat
yang mendesak hasil gemah ripah loh jinawi
yang pasrah diperkosa asing
yang meniduri istri sendiri dengan janji
---
Kemudian, sembari bertengger di pucuk dahan kopi
mereka mendayu menyedihkan hati
meratapi korban berjatuhan di mana-mana
yang satu terancam, lalu tetap mendekap di goa-goa
yang dua takut, hingga cari-cari cara agar acara-acara tetap dipercaya
yang tiga gelisah, kemungkinan cintanya ditolak
sebab ia menduakan rakyat, pun enggan mengawininya
---
Bunga-bunga tumbuh berbalut hutang
sawah subur ditaburi serbuk parasit
ada benalu dalam hutan Pak De ku
ku bilang "Tebas saja!"
ia sangsi bahwa : mati satu tumbuh seribu
akhirnya produksi buku-buku terhenti
sebab pohon-pohon jati
dalam tubuh hutan tadi,
ditanam bukan dari modal sendiri
---
Lalu, burung-burung melipir ke tepi pantai
melihat dari kejahuan
anak kecil menari-nari gembira,
mendekati bibir pantai
tiba-tiba hilang diterpa ombak
---
Kini, burung --burung berduka
tak bisa menjumpai manusia lagi
Changchun,2020
puisi ini juga tayang di laman baladena.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H