Lihat ke Halaman Asli

Bayar Tol (Catatan Tukang Cetak # 1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sore, di depan mesin cetak merk Gestetner yang sedang aku jalankan. Master cetakan menumpuk. Kertas menumpuk. Menunggu giliran untuk dicetak.
“Mas, punya saya bisa jadi lebih cepat?”
“Maaf mas, harus antri” jawabku sambil mengontrol hasil cetakan
“Nggak bisa di selipin, gitu?”
“Bisa sih, tapi harus bayar tol” jawabku dingin
“Oke, sebelum maghrib jadi ya, nih mas buat uang rokok” katanya sambil menyerahkan selembar uang berwarna hijau. Mataku jadi hijau. Pasti kawan tahu kan? Berapa rupiah nilai nominal uang itu?
Kemudian orang-orang yang sudah tidak sabar berebut ingin lebih didahulukan. Bayar tol tentu saja. Ada yang pakai uang hijau, ungu kemerahan, coklat, juga beberapa lembar uang biru. Mataku jadi gelap. Maksudku, gelap mata. Sebab mataku bukan cuma jadi hijau karena ada ungu,merah,coklatjuga biru.
Alih-alih lancar, karena semua lewat tol, malah macet. Mesinku macet, otakku lebih macet. Sepanjang sepuluh kilometer, macam antrean kendaraan mudik. Arghhhhhhhhhhhhh…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline