Lihat ke Halaman Asli

Proletar, Kapitalis, dan Pinsil yang Patah Terus Menerus

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pernahkah kamu dikhianati mentah-mentah, kamu memaafkan, kemudian berpisah bertahun-tahun, dan kini bertemu lagi dan semakin mencintai?

Baiklah akan aku ceritakan kisah ini. Karena keluargaku kaum proletar, maaf, aku menggunakan kata itu, hanya karena malas untuk mengetik kata ‘miskin’. Ya, keluargaku model keluarga kebanyakan. Dimana hanya untuk menyekolahkan anaknya saja megap-megap. Harus jual ayam, jual cabe, dan menjual beras. Sedangkan untuk makan, kami mengkonsumsi nasi jagung.

Kawan sudah pernah makan nasi jagung? Belum? Sayang sekali. Nasi jagung, ikan asin bakar, sambal cabe hijau tambah terasi, sayur daun singkong, ditambah lalap jengkol, adalah menu surga. Nikmat tiada tara. Setidaknya menurutku. Sebuah ironi dan kondisi yang selalu mengajarkan rasa syukur.

Perkara khianat-mengkhianati, kaum proletar selalu yang jadi korban. Aku buktinya. Sejak kecil aku jatuh cinta pada pensil. Aku menyayanginya dan memperlakukannya sangat hati-hati. Suatu hari, dengan dana yang paling minim untuk sebuah pensil yang termurah, aku berhasil membawa pulang sebuah pensil yang aku ‘butuhkan’. Kata butuhkan terpaksa aku beri tanda kutip, sebab keinginan, bagi kami telah menjadi nomor sekian bertahun-tahun lamanya.

Pensil aku raut, tapi grafitnya patah, aku raut, patah demikian terus menerus sampai tersisa sebuah ukuran yang tidak memungkinkan lagi untuk menulis. Aku menangis, aku kecewa. Aku telah dikhianati oleh sebuah pensil. Bukan. Aku telah dikhianati oleh pabrik pensil. Bukan juga. Dalam hal ini kaum proletar telah dikhianati oleh kaum kapitalis. Aku sedih. Dan kemudian melupakannya bertahun kemudian.

Tetapi layaknya sebuah cinta, kalau memang jodoh tidak akan kemana. Belakangan aku kembali jatuh cinta pada pensil. Menyayangi dan memperlakukannya dengan amat sungguh-sungguh. Dan mengambilnya menjadi nama yang amat memesona. Aku pernah dikhianati. Tapi aku tak akan meninggalkannya lagi. Pensil, telah menjadi titik awal untukku berlari. Batu pijakan untukku melompat lebih tinggi.

Kawan, kalau aku terlalu berlebihan dan memakai kata-kata yang ‘keren’, aku memang sengaja. Maksudku, supaya aku kelihatan pintar. Jadi, kalau nanti ada buku ‘Seratus Tokoh Pintar Indonesia’, atau ‘ 100 Tokoh Pintar Abad Ini’ atau apalah, mungkin aku termasuk salah satu didalamnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline