Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Pragmatis bersama Prabowo

Diperbarui: 28 Juni 2018   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber: breakingnews.co.id)

Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon. Di sela-sela retorika yang selalu diulanginya seputar kemiskinan dan sumber daya, dalam video yang beredar di Facebook pada Kamis (21/06) lalu itu, Prabowo mendorong 'rakyat' untuk menerima uang dan sembako yang diberikan saat masa kampanye, sebab itu adalah hak rakyat.

Bukan hal yang mengejutkan bila selanjutnya pernyataan mantan Kopassus tersebut disambut sanggahan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tentu saja merespon bila saran yang tepat diberikan adalah laporkan, bukannya diterima.

Protes lainnya datang dari Serikat Kerakyatan Indonesia (Sakti). Diwakili oleh Sekretaris Jenderal Sakti, Girindra Sandino, Sakti berpendapat bahwa pernyataan Prabowo dapat mendegradasi loyalitas masyarakat terhadap sistem demokrasi alias merusak democracy sustainability.

Lebih jauh lagi, Girindra menyebut ajakan Prabowo ini akan berpengaruh negatif pada konsolidasi yang sedang dibangun di dalam negeri. Singkatnya, bukannya menyatukan, pernyatan Prabowo malah menimbulkan perpecahan.

Keberadaan politik uang dalam bentuk santunan sembako dan uang yang keluar dari pernyataan Prabowo memang kontroversial, tetapi di lapangan itu bukanlah hal aneh apalagi baru. Menuju Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada, 'serangan' politik uang memang muncul dan berwujud dalam beragam cara.

Keadaan ini diamati oleh pengamat dan akademisi politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr Ahmad Atang. Menurutnya, politik uang memang selalu ada dalam setiap perhelatan politik. Tidak hanya dalam perhelatan politik berupa Pilkada atau pemilu legislatif saja, tetapi juga dalam setiap setting sosial yang memiliki potensi kekuasaan.

Walau selalu ada, tentu saja keberadaannya tak bisa begitu saja dianggap sebagai hal yang norma apalagi wajarl. Lantas, apa penyebab Prabowo menyampaikan pernyataan demikian? Apakah ia hendak mengajak rakyat menjadi pragmatis?

Pilkada Datang, Mitos Bagi-Bagi Uang

Jika cermat memperhatikan pernyataan yang keluar dalam tiap pidato mantan menantu Soeharto ini, ada beberapa poin yang kerap disampaikannya berulang-ulang. Pertama, Prabowo tak pernah lepas menyebut bahwa sumber daya Indonesia yang melimpah tak dinikmati oleh rakyat, tetapi negara lain dan warga asing.

Dari poin pertama itu, kolektor sekaligus penunggang kuda ini lantas akan menyebut rakyat Indonesia hidup dalam keadaan miskin. "Yang kaya bertambah kaya, yang miskin, semakin miskin." Itulah kalimat pamungkas yang selalu hadir dalam pidatonya. Narasi ini makin sering digembar-gemborkan olehnya sejak Pemilu 2014 lalu.

Prabowo pada masa kampaye Pilpres 2014 (sumber Beritagar)

Kedua poin ini akan beralih pada poin ketiga, yaitu menyalahkan pemerintah saat ini yang tidak berpihak pada rakyat, sehingga rakyat berada dalam kondisi memperihatinkan.

Dari pengulangan ketiga narasi ini dalam tiap pidatonya, setidaknya terlihat jika anak tertua Soemitro Djojohadikusumo tersebut 'memperhatikan' rakyat. Dan dari logika itu pula, bisa dipahami mengapa kemudian Prabowo mendorong masyarakat untuk menerima sembako dan uang dari kampanye Pilkada, sebab dalam logika Ketua Partai Gerindra ini, uang dan sembako tersebut adalah hak rakyat yang dirampas oleh pemerintah yang gagal membuat sejahtera rakyatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline