Lihat ke Halaman Asli

Bullying Verbal, Cara Bercanda yang Wajar?

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bulan April lalu, bersama dengan mahasiswa di kelas Psikologi Pendidikan yang saya ampu, kami membagikan kuesioner ke SMA dan SMK yang ada di kota Salatiga, untuk memotret fenomena tentang bullying di sekolah-sekolah tersebut.

Kuesioner dibagikan pada 539 siswa sebagai partisipan, dan juga 75 guru. Hasil yang diperoleh, salah satunya adalah bahwa baik siswa maupun guru lebih familiar dengan fenomena tentang kekerasan di sekolah, yaitu tindakan yang menyasar pada fisik, mengakibatkan korban mengalami cidera fisik., dan kurang paham mengenai bullying, yaitu perilaku yang didasari oleh keinginan untuk menyakiti, terjadi berulang, dikarenakan ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dengan korban/target (Olweus, 1993).

Menurut Rigby (2002), bentuk perilaku bullying, ada yang verbal secara langsung, seperti mengejek2, memberi nama julukan yang negatif, membentak dengan kata-kata kasar bahkan makian; Sedangkan bullying verbal yang tidak langsung, seperti menyebarkan rumor tentang seseorang yang tidak disukai, bergosip tentang seseorang. Kemudian ada bullying dengan menggunakan bahasa tubuh, seperti membuang muka ketika bertemu dengan seseorang yang tidak disukai atau melemparkan pandangan sinis. Bullying fisik meliputi perilaku memukul, menampar, menendang, atau semua perilaku yang menyakiti fisik. Ada juga bullying relational, yaitu tindakan mengucilkan seseorang, mempengaruhi orang lain untuk tidak menyukai seseorang, sehingga menghancurkan relasi-relasi yang dimiliki.

Data yang kami peroleh di 10 SMA dan SMK kota Salatiga, lebih dari 50% siswa menyatakan bahwa bullying verbal yang paling sering terjadi di sekolah mereka, karena saling mengejek, memberi julukan dianggap sebagai cara untuk bercanda satu sama lain. Bentakan juga dipahami sebagai cara melatih mental supaya kuat. Konteks situasinya misal pada saat penerimaan siswa baru, di mana kakak kelas boleh membentak-bentak atau menertawakan siswa baru adik kelas mereka.

bullying fisik juga dilaporkan terjadi meski dalam jumlah yang kecil, karena partisipan memahami bahwa perilaku itu termasuk dalam kekerasan.

Data lain yang muncul adalah 20,03% siswa menyatakan penggunaan facebook untuk menghina teman yang tidak disukai, dan 17,99% siswa menyatakan penggunaan sms untuk menghina teman yang tidak disukai, dan 31,53% menelpon atau mengirim sms tanpa identitas, artinya, telah terjadi juga apa yang disebut dengan cyberbullying yaitu bullying menggunakan internet, sms atau telepon.

25,78% siswa menyatakan adanya perilaku membentuk geng untuk memusuhi orang yang tidak disukai, yang merupakan salah satu bentuk bullying relasional.

perilaku-perilaku bullying verbal, relasional dan cyberbullying, dipahami sebagai tidak terlampau berbahaya seperti hanya bullying fisik, karena dampak yang ditimbulkan tidak terlihat nyata seperti halnya cidera fisik. Cidera yang terjadi pada psikis atau mental seseorang, sama berbahayanya dengan cidera fisik.

Beberapa penelitian, mengungkapkan fakta mengenai dampak-dampak dari bullying baik fisik maupun psikis, sebagai berikut:

1. 1. Baik pelaku maupun korban akan lebih cenderung mengalami masalah sosial, emosional, perilaku dan akademis jika dibandingkan dengan teman sebaya lain yang tidak terlibat (Glew, Fan, Katon, Rivara, & Kemic, 2005 dalam Bauman, 2008).

2. 2. Korban memunculkan tingkat depresi, kecemasan, kesepian yang tinggi dan harga diri yang rendah, dimana efek-efek tersebut akan terus dibawa hingga ke masa dewasa (Leff, Power, & Goldstein, 2004 dalam Bauman, 2008).

3. 3. Penolakan teman sebaya, ide untuk bunuh diri, kriminalitas, kekerasan, kenakalan, juga diidentifikasi sebagai hasil dari keterlibatan dengan bullying (Marsh, Parada, Craven, & Finger, 2004 dalam Bauman, 2008).

4. 4. Remaja yang tidak terlibat dalam bullying memiliki skor psychological adjustment(level of self–esteem, depressive symptomatology, perceived stress, feeling of loneliness, general measure ofsatisfaction with life) yang lebih tinggi. Pelaku atau bullies memperoleh skor yang lebih rendah mengenai perceived stress dan satisfaction with life, meskipun di indikator lainnya, memperoleh skor yang hampir sama. Sedangkan korban bullying mengalami perasaan kesepian/loneliness yang paling kuat dibanding dua kelompok sebelumnya. Baik pelaku maupun korban, secara umum memiliki profil psikososial yang rendah (Estevez, Murgui, Musitu, 2009).

5.5. Bullying berpengaruh terhadap prestasi akademik, terkait dengan depresi, harga diri yang rendah, dan dalam beberapa kasus ekstrim, terjadi bunuh diri, serta terkait juga dengan munculnya kekerasan/violence di sekolah (Vail, 2009).

MeDari hasil penelitian di atas, dapat kita pahami bahwa dampak dari perilaku-perilaku yang sekarang ini dianggap sebagai cara untuk bercanda, ternyata negatif dan merusak mental seseorang, sehingga tidak dapat menjadi manusia yang sehat mental.

ApApalagi jika ini terjadi di sekolah sebagai institusi pendidikan, tempat di mana siswa tidak hanya dididik secara intelektual, tetapi juga dibentuk mentalnya menjadi insan Indonesia yang berkarakter. Kepekaan seluruh pihak (guru, siswa, orang tua siswa) mengenai bullying, akan berkontribusi terhadap tidak berkembangnya perilaku ini dalam pergaulan generasi muda bangsa.

M




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline