Di balik gemerlap kota-kota besar dan narasi optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia, tersembunyi fakta pilu yang terus menghantui. Kemiskinan struktural sebuah labirin tanpa pintu keluar yang diciptakan oleh sistem itu sendiri telah menjerat jutaan jiwa. Fenomena ini bukan sekadar statistik, melainkan manifestasi dari sebuah tragedi kemanusiaan. Ia bukan lah hanya soal ketidakmampuan individu, melainkan hasil dari sistem sosial, politik, dan ekonomi yang sengaja atau tidak sengaja membatasi akses sebagian besar masyarakat terhadap peluang dan sumber daya. Kemiskinan struktural bukanlah nasib; ia adalah produk dari konstruksi sosial yang kompleks.
Warisan Sistemik
Kemiskinan struktural di Indonesia memiliki akar sejarah yang dalam. Warisan kolonialisme, yang selama ratusan tahun mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia Indonesia, meninggalkan luka yang terus berdarah. Sistem tanam paksa, eksploitasi tenaga kerja, dan ketimpangan distribusi kekayaan menciptakan pola dominasi yang bertahan hingga kini. Kemerdekaan politik yang diraih pada 1945 sayangnya tidak serta-merta diikuti oleh kemerdekaan ekonomi bagi mayoritas rakyat.
Pasca-kemerdekaan, kebijakan pembangunan yang diorientasikan pada industrialisasi seringkali mengabaikan aspek keadilan sosial. Konsentrasi pembangunan di Jawa, khususnya di kota-kota besar, meninggalkan wilayah-wilayah lain dalam kegelapan. Wilayah seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian Kalimantan masih bergulat dengan keterbatasan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Ketimpangan ini bukan kebetulan, tetapi hasil dari desain kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan distribusi manfaatnya.
Mesin Kapitalisme yang Membelit
Kemiskinan struktural juga merupakan anak kandung kapitalisme global. Indonesia, sebagai bagian dari ekonomi dunia, tidak luput dari jeratan ini. Sistem kapitalisme modern mendikte bahwa keuntungan maksimal menjadi tujuan utama. Dalam konteks ini, rakyat kecil hanya menjadi alat produksi yang dapat digantikan kapan saja.
Privatisasi aset-aset publik, seperti air, listrik, dan pendidikan, telah membuat akses terhadap kebutuhan dasar semakin mahal dan sulit dijangkau. Ketika pendidikan dan kesehatan menjadi komoditas, kelompok miskin kehilangan peluang untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Sementara itu, kelompok elit terus memperkaya diri, memanfaatkan celah dalam regulasi untuk mengakumulasi kekayaan dengan cara yang tidak adil.
Program-program pengentasan kemiskinan seringkali hanya menjadi kosmetik politik. Bantuan langsung tunai atau subsidi bahan bakar hanyalah plester sementara yang menutupi luka mendalam tanpa pernah benar-benar menyembuhkannya. Penyebab utama kemiskinan seperti ketidakadilan dalam distribusi tanah, akses pendidikan, dan lapangan pekerjaan tetap dibiarkan tanpa solusi nyata.
Struktur yang Memenjarakan
Kemiskinan struktural adalah hasil dari kebijakan yang seringkali bias kelas. Misalnya, kebijakan perburuhan yang tidak memadai melanggengkan eksploitasi tenaga kerja. Upah minimum regional (UMR) yang seringkali tidak sebanding dengan kebutuhan hidup layak hanya memperdalam jurang ketimpangan. Pekerja informal yang jumlahnya mendominasi pasar tenaga kerja Indonesia bahkan lebih terpinggirkan, tanpa jaminan sosial atau perlindungan hukum.