Sistem zonasi adalah kebijakan dalam pendidikan yang memprioritaskan penerimaan peserta didik baru berdasarkan jarak rumah siswa dengan sekolah. Sistem zonasi ini adalah upaya untuk mempercepat memeratakan kualitas pendidikan. Sistem zonasi pertama kali diterapkan pada tahun 2017, sistem zonasi pertama kali diterapkan dalam PPDB sesuai Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB. Sitem tersebut kemudian disempurnakan pada tahun 2018 melalui Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, sebagaimana dilansir dari situs Kemdikbud RI.
Sistem zonasi pada dasarnya adalah kebijakan yang mewajibkan calon siswa untuk memilih sekolah yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah berharap bisa menciptakan pemerataan kualitas pendidikan, sehingga siswa di daerah terpencil pun memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pendidikan yang sama baiknya dengan mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Setiap sekolah menetapkan wilayah zonasi dan jumlah kuota siswa yang akan diterima dari setiap zona berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan. Bagi calon peserta didik yang ingin mendaftar melalui jalur zonasi harus memastikan bahwa alamat tempat tinggal mereka berada pada zona yang sesuai dengan ketentuan sekolah tujuannya. Sekolah memprioritaskan peserta didik yang memiliki kartu keluarga berdomisili dalam satu wiliyah kabupaten atau kota yang sama dengan sekolah asal. Calon siswa harus mengajukan berbagai dokumen dan bukti pendukung, seperti kartu keluarga atau surat keterangan tinggal, untuk membuktikan bahwa mereka memenuhi syarat sebagai penduduk dalam zona tersebut.
Sistem zonasi ini merupakan kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menghilangkan label sekolah favorit dan tidak favorit. Sebelumnya, di banyak daerah, sekolah-sekolah favorit di kota besar sering kali hanya diisi oleh siswa yang mampu, baik secara ekonomi maupun dari sisi kemampuan akademis. Sekolah-sekolah yang ada di daerah pinggiran atau pedesaan kerap kali kekurangan fasilitas dan kualitas pengajaran yang memadai. Hal ini menciptakan jurang pemisah antara pendidikan di kota dan di daerah terpencil, yang membuat siswa dari daerah yang lebih terpencil kesulitan untuk memperoleh pendidikan berkualitas. Dengan adanya sistem zonasi, diharapkan siswa dari daerah terpencil atau pinggiran kota juga memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa perlu bepergian jauh atau mengeluarkan biaya tambahan. Sistem yang mengutamakan kedekatan lokasi tempat tinggal siswa dengan sekolah di daerahnya ini, pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi kesenjangan pendidikan antar wilayah dan memberikan akses yang lebih merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Penerapan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) di Indonesia memang menuai banyak perdebatan. Namun seperti kebijakan lainnya, sistem zonasi ini tak luput dari pro dan kontra. Pihak pemerintah tetap menerapkannya kepada setiap sekolah di Indonesia. Meskipun tujuannya adalah pemerataan, kenyataannya tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang sama atau kualitas pengajaran yang setara. Sekolah-sekolah yang terletak di daerah dengan tingkat ekonomi rendah sering kali memiliki keterbatasan dalam hal sarana prasarana, jumlah tenaga pengajar, dan kualitas pendidikan. Ini bisa menyebabkan ketidakmerataan kualitas pendidikan meskipun secara geografis sudah dilakukan pemerataan. Selain itu, masalah lainnya adalah ketimpangan kualitas antar sekolah dalam satu zona. Meskipun tujuannya adalah pemerataan, kenyataannya tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang sama atau kualitas pengajaran yang setara.
Namun, meski niat pemerintah dalam hal ini sangat baik, pelaksanaan sistem zonasi seringkali menimbulkan berbagai tantangan. Salah satu masalah utama yang sering dikeluhkan oleh orang tua adalah terbatasnya pilihan sekolah. Bagi keluarga yang tinggal di daerah dengan sedikit pilihan sekolah berkualitas, sistem zonasi bisa jadi membatasi kesempatan anak-anak mereka untuk bersekolah di tempat yang sesuai dengan bakat dan minat mereka. Tak jarang, orang tua yang memiliki anak dengan kemampuan akademis tinggi merasa khawatir karena anaknya tidak bisa masuk ke sekolah favorit meski sudah berusaha keras dengan nilai yang baik. Ini menimbulkan rasa ketidakadilan, terutama bagi keluarga yang sebenarnya mampu dan berusaha keras agar anaknya mendapat pendidikan terbaik. Di sisi lain, sistem zonasi juga bisa berdampak positif jika diiringi dengan perbaikan kualitas pendidikan secara menyeluruh. Misalnya, dengan mendekatkan siswa ke sekolah-sekolah terdekat, biaya transportasi bisa diminimalisir, dan siswa dapat lebih fokus pada pembelajaran. Selain itu, sistem ini juga memberikan kesempatan bagi sekolah-sekolah di daerah pinggiran atau pedesaan untuk berkembang, asalkan ada perhatian serius dari pemerintah dalam meningkatkan kualitas dan fasilitas di sekolah-sekolah tersebut.
Sistem zonasi dalam pendidikan memiliki potensi untuk menciptakan keadilan dan meratakan kesempatan bagi semua anak. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan upaya yang lebih besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan di semua zona. Pemerintah, masyarakat, dan pihak sekolah harus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas. Seperti kebijakan lainnya, sistem ini harus disertai dengan upaya perbaikan kualitas pendidikan di semua lini, agar tidak justru menambah ketidakadilan baru bagi sebagian masyarakat. Semuanya bergantung pada bagaimana kebijakan ini diterapkan dan sejauh mana pemerintah dan masyarakat bekerja sama untuk mewujudkan pendidikan yang lebih merata dan berkualitas. Tanpa langkah konkret, sistem zonasi hanya akan menjadi sebuah kebijakan yang baik di atas kertas, tetapi tidak memberikan dampak nyata bagi perbaikan pendidikan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H