Penulis: IMMawati Sri Endang (PK IMM Fakultas Hukum UM Bima)
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) semenjak kelahirannya menetapkan garis Perjuangan nya untuk memberantas pemikiran-pemikiran konservatif yang tumbuhkembang dalam kehidupan sehari-hari. Nilai tersebut termuat dalam satu misi IMM dalam menerapkan nilai Liberasi nya.
Dalam satu point penting, kedudukan IMMawati dalam struktur organisasi cenderung dianggap sebagai aspek pelengkap dalam struktur kepengurusan, bukan sebagai prototipe yang mampu menjadi rule model bagi kemajuan organisasi. Hal itulah yang melahirkan tulisan ini, yaitu basis penilaian yang menempatkan posisi IMMawati sebagai pelengkap, bukan sebagai inti.
Pasalnya paradigma yang terus bertumbuh kembang dalam kehidupan sosial saat ini menepatkan kedudukan perempuan dalam posisi yang tidak terlalu di anggap. Hal itu tidak hanya berlaku di kehidupan sosial, tetapi juga bertumbuhkembang dalam dunia pendidikan dalam kampus dan bahkan di dunia organisasi.
Salah satu alasan yang mendasari ketidaksetaraan gender adalah memahami pemahaman partiarki yang memandang laki-laki sebagai pihak dominan dalam tatanan sosial, (Yuni 2021). Sampai saat ini budaya patriarki masih langgeng berkembang di tatanan masyarakat Indonesia.
Menurut Alfian Romansyah (2013) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya, (Irma, Desi.H, 2017). Dalam rumusan yang mudah, bisa kita tarik definisi patriarki sebagai suatu sistem penindasan bagi perempuan.
Hal tersebut sejatinya bukanlah sesuatu yang mesti di aminkan dalam dunia pendidikan maupun dunia organisasi, apalagi sekelas organisasi IMM yang menjunjung tinggi nilai-nilai liberasi (nahi munkar/liberating vorcess), menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan perempuan, menepatkan perempuan sebagai pemilik kemuliaan tiga tingkat di atas nya laki-laki. Tetapi, hal tersebut terbantahkan oleh realitas konkret.
Sebagai bahan perbandingan, IMM Bima, khususnya dalam Komisariat Fakultas Hukum UM Bima menjadi suatu model bagaimana nilai-nilai diskriminasi terus di rawat dalam tubuh ikatan. Gagasan bahwa laki-laki adalah Pencari nafkah, perempuan adalah pengasuh Anak, laki-laki adalah pemimpin, perempuan Adalah jenis kelamin kedua setelah laki-laki, Adalah sesuatu yang dipaksakan untuk diterima secara taken for Granted oleh IMMawan terhadap IMMawati tanpa pernah dipertanyakan dan tidak pernah menjadi sebuah bahan perdebatan dalam tubuh komisariat. Gagasan Yang bersumber dari budaya patriarki tersebut Lagi-lagi menempatkan perempuan/IMMawati dalam posisi Yang kurang menguntungkan dengan segala Stigma dan stereotipe.
Harusnya Perbedaan jenis kelamin dalam kepemimpinan tidak lagi dipermasalahkan. Hal tersebut dibuktikan dengan perempuan memiliki modal berupa ciri khas untuk menjadi seorang pemimpin seperti yang ditunjukkan RA Kartini dan Ny Walidah sebagai panutan kaum perempuan di Indonesia. Perempuan juga memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin jika kita lihat dari sederetan sejarah yang mencatat beberapa diantara perempuan mampu menjadi pemimpin.
Namun lagi-lagi, sederetan argumentasi tersebut tidak membawa implikasi positif dalam ruh organisasi, sehingga penekanan-penekanan terhadap nilai kesetaraan gender tidak akan pernah bisa di selesaikan. Apalagi dalam membicarakan posisi-posisi yang di anggap strategis, seperti IMMawati menjadi Ketua Umum Pimpinan Komisariat maupun Cabang, hal itu jelas merupakan suatu angan yang hanya akan membuang waktu lebih lama untuk memberantas nya. Sehingga Kesetaraan IMMawan dan IMMawati itu hanya omong kosong.