Lihat ke Halaman Asli

SARA, Senjata Pembunuh Made In Indonesia

Diperbarui: 6 Februari 2017   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: tzarbom

Judul di atas hadir sebagai sebuah bentuk keprihatinan dari berbagai dinamika dan gejolak yang dipicu oleh isu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) yang terjadi belakangan ini di tanah air tercinta. Dinamika dan gejolak tersebut sekiranya perlu dilihat sebagai sebuah bentuk ancaman dan rongrongan secara sistematis terhadap persatuan, kesatuan, dan kebhinnekaan di Indonesia. Dan dinamika dan gejolak yang terjadi belakangan inipun dapat menjadi pupukpenyubur bagi tumbuh dan berkembangnya benih-benih permusuhan dan perpecahan yang jika dibiarkan maka akan meningkatkan laju pertumbuhan yang menjurus pada disintegrasi bangsa.

Mungkin saja pernyataan saya di atas sangatlah berlebihan (dan mudah-mudahan saja “sangat berlebihan”), tapi itulah yang saya lihat, rasakan dan yang ingin saya katakan setelah melihat kejadian-kejadian yang marak terjadi akhir-akhir ini dengan mengatasnamakan dan meng-kambinghitam-kan SARA.

Kenyataan hari ini, SARA menjadi momok menakutkan bagi sebagian pihak yang takut berbeda. SARA sengaja dijadikan sebagai pemicu oleh sebagian pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengadu domba dan memecah-belah kerukunan hidup sesama anak bangsa di negeri ini. SARA telah dijadikan sebagai senjata andalan untuk dapat bertindak semau gue yang membangkitkan gairah fanatisme yang membabi buta sekaligus membuat kegaduhan-kegaduhan yang sangat mengusik ketenteraman, kenyamanan dan kedamaian hidup berbangsa. SARA telah menjadi senjata pembunuh buatan asli dalam negeri (made in Indonesia).

Memang isu SARA adalah isu yang sangat sensitif dari masa ke masa. Hal ini disadari betul oleh sebagian oknum-oknum yang berotak kotor untuk terus memprovokasi anak-anak bangsa yang rata-rata gampang, dan bahkan gemardiprovokasi (dihasut) dan terprovokasi (terhasut).

Sekali dihasut, dua-tiga puluh ribu orang langsung terhasut dan tersulut api amarahnya sekaligus tanpa pandang bulu.

Bulu lebat pun disikat/tersikat apalagi cuma bulu halus.

Tidak tanggung-tanggung, mulai dari yang buta huruf sampai yang melek huruf rame-rame “terbakar” (atau sengaja “membakar diri?”). Begitu pula, mulai dari yang tidak terdidik sampai yang terdidik, bahkan sampai yang sangat sangat terdidik sekalipun, dan lebih parah lagi, tokoh-tokoh agama yang sudah menggenggam surga di dalam telapak tangan pun bisa dihasut dan terhasut, dan/atau bahkan turut menghasut. Sudah lumrah di negeri ini, yang berhubungan dengan hasut-menghasut, dihasutdanterhasut atas nama atau oleh karena SARA telah menjadi bagian dari hobby dan kegemaran sebagian anak bangsa.

“Memang aneh tapi nyata!”

Bangsa yang sarat dengan gaya (style), bahasa, dan ritual keagamaan ini seharusnya lebih mengedepankan pola pikir, kata hati dan sikap hidup yang bersifat religius, tetapi kenyataannya, sebagian dari kita mudah sekali terbakar hasutan-hasutan konyol yang tidak masuk akal. Ibarat sebuah buku, indah sampul daripada isi. Gaya, bahasa, dan ritual-ritual yang melekat pada pribadi-pribadi yang tampak seperti malaikat tersebut hanyalah topeng yang membungkus kebusukan hati/pikiran dan kebejatan perilaku mereka.

Yang terjadi hari ini, kata dan tindakan boleh saja menyimpang asalkan dibungkus rapi dengan kemasan religi yang berhiaskan simbol-simbol keagamaan. Tindakan semena-mena boleh saja dilakukan asalkan nama TUHAN dibawa-bawa. Anarkisme dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia boleh saja dilakukan asalkan didasari dengan label membela keyakinan dan ajaran TUHAN, atau bahkan atas nama membela TUHAN. Dan ini semua telah menjadi sebuah tontonan publik yang sangat menggelikan. TUHAN, ajaran TUHAN dan agama menjadi gambar sampul/judul buku yang berisikan cacian, umpatan, fitnah, kecemburuan, kemunafikan, dendam, iri hati, dengki, dll.

Sebenarnya, akar dari segala permasalahan yang muncul saat ini adalah ada pihak-pihak dan kelompoknya yang merasa diri paling benar dan/atau paling suci sendiri. Mereka merasa diri sebagai bala tentara sorgawi yang diutus untuk membumihanguskan kelompok lain yang berbeda di muka bumi ini. Betapa pe-de-nya dan ge-er­-nya mereka! Perbedaan dipolitisasi, perbedaan dikambinghitamkan, dan perbedaan menjadi api yang siap menyulut sumbu-sumbu pendek yang belum disulut/tersulut pun sudah menyala.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline