Lihat ke Halaman Asli

“Maling Kandang”: Cerita Pengantar Tidur Rakyat

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1421431788918371804

Ilustrasi: Kompasiana
Oleh: Pietro T. M. Netti

Malin Kundang

Membaca judul di atas, sekilas mungkin saja perhatian kita tertuju pada nama/tokoh Malin Kundang, si anak durhaka; si anak biadab yang tega menyangkali ibu kandung-nya sendiri demi mempertahankan gengsi dan ego di hadapan istri dan pengikut-pengikutnya. Tentu kita semua pernah mengetahui dan/atau mendengar cerita tentang Malin Kundang si anak durhaka tersebut. Betapa cerita tersebut begitu membumi di seluruh pelosok negeri ini. Cerita ini hampir selalu menjadi cerita pengantar tidur oleh seorang ibu kepada anak-anaknya semasa kecil.

Cerita lokal asli Padang (Sumatera Barat) ini memang patut diceritakan kepada anak-anak agar kelak tidak durhaka kepada orang tuanya, khususnya durhaka kepada sang ibu yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anak tercintanya, sebagaimana yang dilakukan oleh si biadab Malin Kundang. Kita sebagai anak harus tetap menghormati orang tua kita apapun keadaan dan keberadaan mereka. Hukuman Tuhan adalah nyata dan pasti bagi mereka yang tega menyangkali, mengkhianati, dan/atau yang durhaka kepada orang tuanya apapun alasannya.

Maling

Judul “Maling Kandang”: Cerita Pengantar Tidur Rakyat muncul ketika melihat pemberitaan di televisi (Selasa, 13 Januari 2015) seputar penetapan calon tunggal Kapolri, Komjen Budi Gunawan, sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semula ada beberapa judul yang terbersit dalam pikiran saya untuk dijadikan sebagai judul tulisan ini: Si Jenderal Maling, Si Penangkap Maling Ternyata Maling Juga, Maling Kakap Berbintang Tiga, dan Maling Berseragam Polisi.

Keempat draft judul tersebut memiliki satu kata kunci yang sama yakni kata Maling.

“Ya, Maling!”

Saya lebih memilih kata maling untuk dilekatkan pada para pelaku korupsi daripada menggunakan kata koruptor itu sendiri. Walaupun hal ini dapat dikatakan sebagai meringankan beban yang harus dipikul oleh para koruptor atau bahkan bisa katakan sebagai sedikit memulihkan nama baik para koruptor yang seharusnya lebih bejat dari maling-maling biasa.

Sebenarnya koruptor adalah istilah yang tepat untuk mereka yang disangkakan melakukan tindak pidana korupsi (Baca definisi Korupsi menurut Wikipedia dan Kajian Pustaka!). Namun menurut feeling saya, koruptor yang seharusnya memiliki makna pelaku kejahatan bejat atau busuk telah mengalami degradasi makna yang cenderung membuat pelaku maupun keluarga pelaku merasa bangga dengan status tersebut.

Para pelaku korupsi saat digiring aparat pun masih berjalan dengan dada membusung dan kepala terangkat. Tidak jarang lambaian tangan bak nyiur melambai dan tebaran senyum ala selebriti menghiasi kamera para awak media. Hal ini pun didukung dengan perlakuan aparat keamanan yang masih menunjukkan sikap respect yang berlebihan kepada si pelaku-pelaku busuk dan bejat ini.

Beda halnya dengan apa yang terjadi pada pelaku maling ayam, pelaku maling jemuran dan pelaku maling lainnya. Sejak penangkapan di Tempat Kejadian Perkara (TKP), sudah pasti sang pelaku telah memperoleh banyak hadiah dari warga dan aparat. Hadiah bogem mentah di sekujur tubuh menjadi hadiah andalan bagi para pelaku, dan/atau bahkan hadiah timah panas di paha, betis atau kaki mereka.

Dalam keadaan seperti ini para pelaku sudah pasti meringis kesakitan, sibuk menyembunyikan wajah mereka agar kalau boleh mereka tidak dikenal oleh teman-teman dan kerabat-kerabat mereka. Jangankan senyum, lambaian tangan pun mustahil dilakukan dalam kondisi fisik dan psikis yang sudah ditekan dan tertekan ini. Jika ada pelaku maling ayam atau maling jemuran atau pelaku maling-maling lain yang bisa tersenyum dan melambaikan tangan maka patut dipertanyakan kondisi kesehatan jiwanya di dokter jiwa. Dan saya berani bertaruh, sudah pasti kondisi kejiwaannya terganggu alias “gila”.

“Mungkinkah para pelaku korupsi juga memiliki kondisi kejiwaan yang terganggu alias gangguan jiwa alias sakit jiwa alias gangguan mental alias sakit mental alias tidak waras alias gila?”

Maling Kandang & Malin Kundang

Sebenarnya topik Maling Kandang yang saya angkat dalam tulisan ini tidak 100% identik dengan cerita Malin Kundang. Nama Malin Kundang dibawa-bawa dalam tulisan ini hanya karena penyebutan dua suku kata awal (“Ma” dan “lin” = “Malin”) yang hampir mirip dengan kata Maling. Kata Maling, menurut hemat saya, sangat cocok untuk dilekatkan pada diri pelaku korupsi menggantikan kata/istilah “keren” koruptor.

“Kok keren???”

Ya, kata/istilah koruptor disebut “keren” karena seharusnya kata/istilah ini menunjuk pada pelaku kriminal yang luar biasa (extra ordinary crime) yang artinya juga seharusnya luar biasa bejat-nya, luar biasa busuk-nya dan luar biasa bobrok-nya. Tetapi kata/istilah ini telah mengalami pergeseran makna 180 derajat yang terkesan menjadi luar biasa hebat-nya dalam mengangkat harkat dan martabat pelaku, keluarga dan sanak familinya seperti yang telah saya paparkan di atas (Lihat Maling!).

Maling Kandang dipakai karena hampir mirip pengucapannya dengan Malin Kundang. Di samping itu, nama ini juga dipilih untuk menyetarakan para maling yang seharusnya bejat dan seterusnya itu dengan para maling ayam dan/atau para maling jemuran dan/atau para maling lainnya. Malangkandang saya tujukan kepada para pelaku korupsi yang idealnya memiliki watak dan mental maling, kepribadian nyolong, dan harkat dan martabat rendahan yang tidak berbeda dengan para pelaku maling pada umumnya yang cenderung dianggap lebih hina itu. Mereka, para koruptor, sebenarnya jangan merasa diri lebih hebat atau lebih bermartabat.

Jika mau disamakan, boleh juga, para koruptor sama hinanya dengan para maling, yakni memiliki mental, kepribadian, harkat dan martabat yang sama dengan para maling. Tetapi jika mau dibandingkan maka para koruptor sudah pasti lebih hina, lebih bejat, lebih busuk, lebih bobrok mental, kepribadian, harkat dan martabatnya daripada para maling. Dikatakan lebih hina, lebih bejat dan seterusnya, karena dampak yang ditimbulkan oleh aksi para koruptor ini luar biasa besar kerusakannya bagi hidup dan kehidupan rakyat miskin/kecil.

Sekali lagi, Maling Kandang adalah tipe manusia biadab di negeri ini yang berwatak maling, gemar merampok di kandang tetangga dan/atau merampas jerih payah dan hasil usaha/keringat orang lain. Maling Kandang adalah pribadi yang tidak memiliki hati nurani yang tega merampas hak hidup sesama anak bangsa yang lain yang justru hidup berkekurangan. Maling Kandang adalah tipe manusia bermuka badak dan berhati srigala yang bangga bersenang-senang di atas penderitaan rakyat miskin/kecil. Masih banyak lagi hal-hal nista yang layak di-copy-paste-kan pada diri para Maling Kandang tak bermoral ini.

Maling Kandang v.s. Malin Kundang

Jika kita menghadap-hadapkan kedua nama/tokoh yang sama-sama bereputasi bejat ini, maka kita bisa melihat ada beberapa persamaan dan/atau perbedaan yang mencolok, sebagai berikut:


  1. Maling Kandang adalah tokoh cerita yang nyata yang berasal dari pemberitaan di dalam cerita kehidupan yang nyata (kisah nyata) pula. Sedangkan Malin Kundang adalah tokoh cerita fiktif yang berasal dari legenda (cerita rakyat).
  2. Maling Kandang hidup bergelimang harta dengan cara tidak terpuji, yakni sengaja menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri/orang lain, mencuri uang milik rakyat, dan bersenang di atas penderitaan sesama di negeri sendiri. Sedangkan Malin Kundang, setahu saya, juga hidup bergelimang harta dan hidup sukses tapi karena usaha dan kerja keras di negeri orang (perantauan).
  3. Maling Kandang adalah tokoh yang berkelas ekonomi menengah ke atas atau tokoh elit kaya yang ingin terus menjadi kaya dan kaya dengan cara-cara busuk dan bejat hanya karena nafsu dan keserakahan. Sedangkan Malin Kundang adalah sosok pemuda miskin yang juga berasal dari keluarga miskin yang berusaha dan bekerja keras untuk bisa keluar dari jeratan kemiskinan diri dan keluarga (Mohon dikoreksi jika salah!).
  4. Maling Kandang dan Malin Kundang adalah anak-anak durhaka. Jika Malin Kundang adalah anak yang durhaka kepada ibu kandungnya yakni tidak mau mengakui ibu kandungnya yang telah melahirkan dan membesarkan, maka Maling Kandang adalah anak bangsa yang durhaka kepada ibu pertiwi yang telah memberi kehidupan dan perlindungan.
  5. Jika dalam cerita Malingkundan terdapat pesan moral yang berhubungan dengan kesombongan, keangkuhan, tidak tau diri, lupa diri, dan kedurhakaan kepada orangtua yang tidak boleh ditiru, maka dalam cerita Maling Kandang menghadirkan pesan moral dua kali lebih banyak dari cerita Malin Kundang. Pesan moral yang patut dikutuk dari kisah nyata Maling Kandang ini selain seperti yang terkandung dalam kisah Malin Kundang adalah: rakus, serakah, mementingkan diri sendiri, mencuri dari kepunyaan/hak milik dan hak hidup rakyat kecil atau orang-orang miskin, bersenang-senang di atas penderitaan rakyat, dan seterusnya, dan seterusnya (Lihat di atas!).
  6. Sebagaimana cerita Malin Kundang memberi pesan moral kepada setiap anak agar tetap berbakti kepada orangtua dalam kondisi apapun keadaan mereka, kisah Maling Kandang inipun memberi pesan moral kepada setiap anak bangsa untuk tetap menjaga ibu pertiwi apapun keadaannya tanpa mengambil apa yang bukan menjadi haknya.
  7. Hukuman Tuhan untuk si Malin Kundang adalah nyata dan pasti, kapal yang ditumpangi dan seluruh isi kapal karam dan menjadi batu. Begitu pula dengan hukuman Tuhan untuk si Maling Kandang akan nyata dan pasti pula seiring perputaran roda waktu. Ungkapan “Kalau bukan sekarang kapan lagi” sudah ditakdirkan Tuhan untuk tidak berlaku bagi para Maling Kandang, melainkan “Kalau bukan sekarang pasti nanti”. Fakta telah membuktikan bahwa banyak pelaku korupsi yang terjerat jauh hari setelah masa keemasan mereka.
  8. Malin Kundang telah menjadi cerita rakyat yang melegenda yang sarat dengan pesan moral untuk tidak ditiru oleh anak-anak terhadap orangtuanya. Maling Kandang pun patut menjadi cerita bagi seluruh rakyat Indonesia yang diangkat dari sebuah kisah nyata di negeri tercinta ini yang memiliki pesan moral yang lebih sarat lagi agar bisa dihindari oleh segenap anak bangsa di masa-masa yang akan datang untuk kemajuan bersama.

Penutup

Tulisan ini hanya merupakan buah pikiran saya sebagai rakyat kecil (yang samasekali tidak memiliki power apa-apa) yang terperangah melihat maraknya kasus-kasus korupsi yang terjadi sebegitu massif-nya. Sebagai rakyat, saya hanya bisa mendukung gigihnya upaya pemberantasan maupun pencegahan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Maju terus, KPK! Kalau bukan sekarang pasti nanti!”

Akhir kata, kalaupun dalam tulisan ini terdapat kata-kata yang terasa kasar dan/atau yang kurang berkenan, jangan simpan di hati. Ini semata-semata bentuk ekspresi kegemasan saya secara pribadi melihat kenyataan yang sebenarnya sangat memprihatinkan nasib bangsa dan negara ini ke depannya yakni menuju Indonesia Jaya, Indonesia Makmur dan Indonesia Sejahtera.

“Aku cinta… Anda cinta… Kita cinta INDONESIA!”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline