Tidak akan ada selisih paham jika dikatakan bahwa perpustakaan adalah kumpulan buku dan bibliotek (taman buku) yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mengakses informasi ilmu pengetahuan, teknologi, pengalaman kemanusiaan, dan produk kebudayaan dalam proses memanusiakan manusia agar menjadi homo yang human (manusia yang berkebudayaan). Namun demikian, dalam bookless society (masyarakat tanpa banyak buku cetak), pengertian perpustakaan itu telah melebar ke ruang digital sebagai akibat melesatkan perkembangan teknologi informasi yang menghadirkan jaringan internet (pembentuk dunia maya atau dunia tanpa wujud).
Terlepas dari pemahaman tradisional dan era digital (zaman now), hakikat keberadaan perpustakaan masih dalam "simponi" yang sama, yaitu hominisasi dan humanisasi manusia. Kehadiran perpustakaan bertujuan untuk membantu masyarakat, dalam berbagai usia, agar dapat: (1) mendidik dirinya sendiri secara berkesimbungan; (2) menanggapi kemajuan berbagai ilmu pengetahuan, teknologi, kehidupan sosial, budaya, dan politik; (3) memelihara kemerdekaan berpikir yang konstruktif untuk menjadi anggota keluarga dan masyarakat yang lebih baik; (4) mengembangkan kemampuan berpikir kreatif, rekreatif, membina rohani, dan menghargai hasil seni serta budaya manusia; (5) menjadi warga negara yang baik dan berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan nasional dan kesalingpengertian antarbangsa; (6) menggunakan waktu senggang dengan baik agar bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan sosial. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada selisih pendapat mengenai value judgement (pertimbangan nilai) tentang "eksistensi" perpustakaan.
Persoalan akan muncul dan perbedaan paham akan terasa jika perpustakaan tidak sekadar dipahami memiliki value judgement, tetapi dihadapi sebagai kenyataan objektif. Sekali nilai itu diturunkan dari atas kepala dan direntang di hadapan mata, maka konsensus berakhir dan diskusi dimulai. Mengapa? Dalam memberikan reality judgement (pertimbangan kenyataan) tentang perpustakaan, setiap orang atau kelompok kepentingan akan mencari persepsinya, perspektif dipertegas, dan pendapat segera bersimpang jalan. Apa dan bagaimana perpustakaan sebagai realitas objektif? Bagaimana membongkar simbol peradaban perpustakaan untuk kemudian merekonstruksi peran genaratifnya dalam pembangunan budaya?
"Menara Gading" Perpustakaan
Menyelusuri "lorong-lorong" historis perkembangan perpustakaan di Indonesia, pada dasarnya, adalah "tapak tilas" gerak maju suatu peradaban manusia. Jika kita mengambil pendapat bahwa sejarah perpustakaan ditandai dengan dikenalnya tulisan, maka sejarah perpustakaan di Indonesia dapat dimulai pada tahun 400-an, yaitu saat lingga batu dengan tulisan Pallawa ditemukan pada zaman Kerajaan Kutai. Selanjutnya, ada manuskrip keagamaan untuk kaum Brahmana di Kerajaan Tarumanegara; manuskrip atau buku untuk Biksu di ibukota Kerajaan Sriwijaya; muncul pujangga istana yang menghasilkan berbagai karya sastra pada zaman Kerajaan Mataram (Kuno); muncul para empu pada zaman Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari, dan Kerajaan Majapahit yang menuliskan berbagai karya sastra dan menciptakan artifak tertentu. Kegiatan penulisan dan penyimpanan naskah masih terus dilanjutkan oleh para raja dan sultan yang tersebar di Nusantara: Kerajaan Demak, Banten, Mataram, Surakarta, Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Melayu, Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa.
Perkembangan model perpustakaan, sebagaimana yang dikenal saat ini, dimulai pada zaman Hindia Belanda (VOC). Muncul kemudian perpustakaan kampus di Indonesia sekitar tahun 1920-an yang menyertai berdirinya sekolah tinggi. Pada tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan namanya pun diubah menjadi Museum Pusat. Koleksi perpustakaannya menjadi bagian dari Museum Pusat dan dikenal dengan Perpustakaan Museum Pusat. Nama Museum Pusat ini kemudian berubah lagi menjadi Museum Nasional, sedangkan perpustakaannya dikenal dengan Perpustakaan Museum Nasional. Pada tahun 1980 Perpustakaan Museum Nasional dilebur ke Pusat Pembinaan Perpustakaan. Perubahan terjadi lagi pada tahun 1989 ketika Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur sebagai bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Memang narasi historis perkembangan perpustakaan di Indonesia itu adalah sebuah pernyataan konstatif (pernyataan tentang fakta sebagaimana adanya) yang sifatnya deskriptif, yaitu menggambarkan sesuatu secara langsung tanpa penilaian apa pun. Teks historis itu hanya merekam tingkat kemajuan sebuah "peradaban" perpustakaan yang terikat dalam ruang dan waktu. Di dalam teks historis tersebut direntangkan reality judgement (realitas objektif) perpustakaan sebagai hasil budi daya dan tindakan praksis manusia saat itu, yang mengonfigurasikan the cultured way (jalan berbudaya) memaknai peradaban manusia. Di sinilah, perpustakaan tampil sebagai simbol peradaban karena di balik apa yang disebut sebagai "perpustakaan" itu tergelar ideas (kompleksitas ide, gagasan, nilai yang menuntun perilaku berpola manusia dalam kehidupan) dan activities (kegiatan manusia untuk mengekspresikan dirinya dalam berbagai cara dan bentuk).
Namun demikian, reality judgement perpustakaan, yang sudah diterima sebagai sebuah wacana (keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan), membersitkan dialektik antara peristiwa dan arti. Peristiwa hanya terjadi sekali, ia muncul dan hilang; sedangkan arti dapat diidentifikasi, diulangi, ditafsirkan, diungkapkan dengan kata-kata berbeda atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Oleh karena itu, reality judgement perpustakaan, sebagaimana tergambar di atas, berpotensi mengandung beberapa tafsir korelatif-kontekstual yang problematis.
Pertama, dunia perpustakaan masih terkungkung dalam sebuah "rezim" simbol peradaban suatu kelompok masyarakat. Jika rezim atau kekuasaan diartikan sebagai pola-pola relasi antarmanusia atau negara yang tidak seimbang, yang eksploitatif, dan yang represif, maka perkembangan dunia perpustakaan sangat dipengaruhi oleh kekuatan kekuasaan yang melingkupinya. Perkembangan perpustakaan dan tujuan yang dibawanya harus berjalan seiring dengan kepentingan pihak yang memegang kendali tatanan kehidupan sosial. Misalnya, pada zaman Kerajaan Kediri, terdapat naskah tulisan tangan di atas media daun lontar yang dibuat untuk pembaca kalangan sangat khusus, yaitu kerajaan. Muncul kemudian beberapa pujangga dengan karya sastranya, seperti Empu Sedah dan Empu Panuluh yang bersama-sama menggubah kitab Bharatayudha; Empu Panuluh juga menggubah kitab Hariwangsa dan kitab Gatotkacasrayya. Selain itu, ada Empu Monaguna dengan kitab Sumanasantaka dan Empu Triguna dengan kitab Kresnayana.
Sebagai sebuah "rezim", perpustakaan (simbol peradaban) muncul sebagai distinction, yaitu strategi kekuasaan untuk membedakan diri dari kelas di bawahnya sehingga berpotensi merusak harmoni sosial: mendiskreditkan kalangan bawah, bersikap istana sentris, dan muncul sikap "ABS" (asal bapa senang) pada kaum kreator peradaban, seperti pujangga dan para empu. Kalangan yang "berpustaka" dinilai sebagai yang memiliki peradaban meskipun realitasnya belum tentu merepresentasikan penilaian itu.
Kedua, perpustakaan masih tampak sebagai "menara gading" peradaban. "Menara gading" berarti tempat atau kedudukan yang serba mulia, enak, dan menyenangkan atau tempat untuk menyendiri, misal tempat studi, yang memberi kesempatan untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Walapun secara fisik jumlahnya di Indonesia sebanyak 164.610 (urutan kedua terbesar dunia setelah India), perpustakaan masih dirasakan berjarak dan terasing dari keberadaan rakyat kebanyakan; gambaran peradaban intelektual yang disandangnya seakan-akan terputus dengan dunia kehidupan praktis sehari-hari; bahkan, perpustakaan diresepsi sebagai lingkungan yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri, bersifat elitis atau ilmiah yang kecil manfaatnya bagi dunia nyata di sekitarnya.