Di tengah-tengah perkembangan teknologi alat-alat transportasi yang gegap gempita dan canggih, hampir setiap hari masih terus terdengar berita kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan itu melibatkan berbagai kalangan pengguna alat-alat transportasi tanpa pandang bulu, baik anak-anak maupun orang dewasa, baik orang miskin maupun orang kaya. Korban jiwa dan kerugian harta benda terus meningkat secara kuantitatif, seolah-olah kecelakaan itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), kecelakaan lalul lintas di Indonesia menjadi pembunuh manusia terbesar ketiga setelah penyakit jantung koroner dan tuberculosis.
Dalam laporan tahunan Kepolisian RI, sebagai contoh, disebutkan bahwa pada tahun 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 27.442 orang, dengan potensi kerugian sosial ekonomi sekitar Rp203 triliun -- Rp217 triliun per tahun. Disebutkan juga bahwa sebanyak 67 persen korban kecelakaan lalu lintas berada pada usia produkti, yakni 22 -- 50 tahun; terdapat sekitar 400.000 korban di bawah usia 25 tahun yang meninggal di jalan raya dengan rata-rata angka kematian 1.000 anak-anak dan remaja setiap harinya.
Realitas kecelakaan lalu lintas tersebut dikondisikan oleh beberapa mata rantai faktor. Pertama, faktor manusia sebagai faktor yang paling dominan dalam peristiwa kecelakaan. Manusia sangat sering melanggar ketentuan berkeselamatan berlalu lintas; sengaja melanggar atau ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku atau juga pura-pura tidak tahu. Sebagai pengguna jalan raya, manusia sering lalai dalam mengendarai kendaraannya sehingga membawa kendaraannya dalam keadaan mabuk, mengantuk, ugal-ugalan, dan mudah terpancing oleh ulah pengguna jalan yang lain yang mungkin dapat memicu nafsu untuk berbalapan. Kedua, faktor kendaraan, seperti kendaraan yang tidak laik jalan karena termakan usia dan kelalaian perawatan yang harus dilakukan. Ketiga, faktor sarana jalan yang berkaitan dengan geometrik jalan, pagar pengaman di daerah penggunungan, tidak adanya median jalan, kondisi permukaan jalan yang rusak dan berlubang. Keempat, faktor cuaca seperti hujan yang mempengaruhi unjuk kerja kendaraan: pengereman menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, dan jarak pandang terganggu, selain dipengaruhi oleh asap dan kabut.
Tanpa sikap ingin mengurangi arti penting faktor yang lain, faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam sebuah peristiwa kecelakaan lalu lintas. Artinya human error mempunyai kontribusi yang signifikan dalam sebuah kecelakaan. Oleh karena itu, program Decade of Action for Road Safety yang dicanangkan oleh PBB pada bulan Maret 2010 atau program keselamatan berlalu lintas dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat hanya dapat terwujud jika manusia memiliki kesadaran berkeselamatan berlalu lintas sebagai budaya. Dengan kata lain, untuk meminimalisasi kecelakaan, bahkan sampai pada situasi zero accident, kesadaran akan keselamatan berlalu lintas menjadi conditio sine quanom (syarat mutlak).
Persoalan yang pasti muncul adalah bagaimana menanamkan dan meningkatkan kesadaran berkeselamatan berlalu lintas atau membangun budaya tertib berlalu lintas bagi masyarakat penggunanya? Siapa yang dapat berperan dalam proses reschooling sociaty untuk menyadarkan pentingnya budaya berlalu lintas?
Dimensi Kesadaran Budaya Berlalu Lintas
Kogitasi bahwa manusia sebagai faktor dominan penyebab kecelakaan lalu lintas memunculkan proposisi kausal, yaitu semakin tinggi kesadaran berkeselamatan berlalu lintas semakin rendah terjadi peristiwa kecelakaan atau sebaliknya. Artinya, kesadaran budaya berlalu lintas menjadi kunci terciptanya keselamatan berlalu lintas. Dalam konteks itu, kesadaran budaya berlalu lintas "merangkul menjadi satu" tiga dimensi kesadaran: kesadaran koeksistensif, kesadaran normatif-regulatif, dan kesadaran environmental.
Pertama, dimensi kesadaran budaya koeksistensif, yaitu kesadaran seorang manusia sebagai pribadi yang otonom tetapi sekaligus berada bersama orang lain. Masing-masing orang dapat memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar yang paling luas yang sesuai dengan kebebasan yang sama yang dimiliki orang-orang lain. Ketika seseorang memiliki kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, pertimbangannya bukan hanya sebatas kebebasan dan kesenangan diri sendiri melainkan korelasi kebebasan dan kesenangan itu dengan kebebasan dan kesenangan orang lain yang ada di sekitarnya.
Dalam kaitannya dengan budaya berlalu lintas, kesadaran koeksistensif mencakup kesadaran mengenal kompetensi diri sendiri dalam menjalankan atau menggunakan sarana berlalu lintas. Apakah diri sendiri sudah mampu menjalankan sarana berlalu lintas bermotor secara baik dan benar. Di samping itu, kesadaran kelayakan sosial merupakan cakupan kesadaran koeksistensif. Apakah diri sendiri sudah dianggap layak menjalankan sarana berlalu lintas bermotor atau belum cukup umur untuk menjalankannya. Kalau pun sudah cukup umur, apakah saya sudah memenuhi kelengkapan administratif berkendaraan, seperti SIM dan STNK serta kelengkapan keselamatan, seperti helm dan sabuk pengaman. Ketika kita menyadari kompetensi diri dan kelayakan sosial dalam berlalu lintas, pada dasarnya kita menggaransikan keselamatan berlalu lintas pada diri senddiri dan orang lain. Dengan kata lain, pengenalan diri sendiri sangat membantu dalam memahami orang lain yang kebetulan berada dalam situasi berlalu lintas yang sama.
Kedua, dimensi kesadaran budaya normatif-regulatif, yaitu kesadaran seorang pengguna kendaraan berlalu lintas akan norma-norma dan aturan-aturan berlalu lintas yang telah ditetapkan. Kesadaran normatif lebih mengacu pada kesadaran etis-moral bahwa sebuah tindakan yang dipilih untuk dijalankan harus sesuai dengan norma atau hukum batiniah, yaitu apa yang dipandang sebagai kewajiban. Kesadaran manusia akan kewajibannya yang ditaati sebagai sesuatu yang dihendakinya sendiri karena diyakini sebagai sesuatu yang baik dan benar. Misalnya, ketika orang sedang berkendaran bermotor, ia menyadari bahwa tindakan ugal-ugalan atau kondisi mabuk akan membahayakan keselamatan diri dan orang lain.
Sementara itu, kesadaran budaya regulatif lebih mengacu pada ketaatan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan, seperti yang tertulis dalam Pasal 106 UU No. 22 Tahun 2009 berikut. (1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. (2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda. (3) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan. (4) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan: rambu perintah atau rambu larangan, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir, peringatan dengan bunyi atau sinar, kecepatan maksimal atau minimal, dan tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain. (5) Pada saat diadakan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib menunjukkan: surat tanda nomor kendaraan bermotor atau surat tanda coba kendaraan bermotor, surat iizin mengemudi, bukti lulus uji berkala, dan tanda bukti lain yang sah. (6) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih di jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan. (7) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan "rumah-rumah" di jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. (8) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia. (9) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tanpa kereta samping dilarang membawa penumpang lebih dari 1 (satu) orang.