Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Selasa (27/7/2021) telah menyelenggarakan peluncuran "Core Values dan Employer Branding ASN" secara daring. Dalam kegiatan tersebut, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa pada saat ini aparatur sipil negara (ASN) dituntut mampu berkolaborasi lintas organisasi, daerah, ilmu, dan profesi. ASN juga harus mempunyai orientasi yang sama, yaitu memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat (Kompas, 28/7/2021).
Secara tersirat, pesan Presiden itu seolah membuka "selubung wajah bopeng" yang masih melekat pada birokrasi Indonesia. Walaupun gerakan reformasi birokrasi sudah lama digalakkan, adaptasi kolaboratif dan inovatif sebagian birokrat masih tersengat mental priayi zaman kolonial. Mereka lebih mementingkan kedudukan dalam percaturan politik dan asyik menyusun rencana tindakan yang mendatangkan rezeki atau keuntungan politik.
Birokrasi semacam itu telah menciptakan kaum birokrat yang arogan, yang mempersulit urusan warga negara dengan rasionalisasi 'setia pada hukum dan aturan yang berlaku'. Birokrat berlagak seperti orang yang paling penting, yang tanda tangannya dibutuhkan rakyat kecil sehingga mereka dengan seenaknya meminta "amplop" jasa. Mereka yang digaji dengan pajak rakyat tidak menjalankan fungsinya secara baik dan benar. Sebaliknya, mereka menjadi "tuan" yang terpaksa dilayani rakyat; bahkan mereka tidak memiliki empati sedikit pun terhadap penderitaan rakyat kecil.
Peluncuran core values ASN itu menandakan juga bahwa gerakan reformasi birokrasi perlu terus "disegarkan" agar memiliki efek implementatif yang sejalan dengan tujuan pembangunan bangsa Indonesia. Reformasi birokrasi merupakan perubahan radikal atas alur dan sistem kerja pemerintahan yang berkemampuan akomodatif terhadap kepentingan umum (rakyat).
Memang disadari bahwa birokrasi senantiasa dilengkapi dengan kekuasaan dan kewenangan (otoritas) yang digunakan untuk menjalankan kebijakan umum dan untuk mengatur sumber-sumber yang ada melalui cara yang persuasif dan koersif. Namun, birokrasi juga dilengkapi dengan tanggung jawab politis, yaitu mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri atau kelompok sehingga tercipta kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat.
Dalam kerangka kepentingan umum dan kesejahteraan bersama itulah, reformasi dibutuhkan untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia aparatur. "Muara" reformasi birokrasi adalah terbentuknya karakter birokrat yang bermartabat dalam pemerintahan yang bersih dari KKN, akuntabel, berkinerja, dan pelayanan publik yang berkualitas. Salah satu karakter utama refomasi birokrasi adalah reformasi etos kerja pelayanan masyarakat.
Reformasi etos kerja ini merupakan reformasi sumber daya manusia aparatur yang pada hakikatnya dibangun atas value judgement tentang sebuah kerja. Semakin tinggi dan komprehensif tangkapan seseorang terhadap sistem makna dan nilai suatu kerja, maka semakin tinggi pula implementasi etos kerja pelayanan dalam praksisnya.
Artinya, aktivitas kerja bukanlah semata-mata sebuah persoalan ekonomis, tetapi juga tindakan khas manusia untuk mengobjektivikasi diri ke dalam alam melalui bakat dan kemampuannya serta sekaligus mewujudkan sifat sosial kemanusiaan. Ada aspek moral, etika, dan spiritual yang terkandung dalam suatu aktivitas kerja.
Hal ini menegaskan bahwa menjadi birokrat (apartur negara) bukanlah suatu "perantauan" ekonomis semata, yang hanya melihat kerja sebagai aktivitas untuk mengisi kekurangan dimensi memiliki (having), tetapi "panggilan hidup untuk melayani", yang melihat kerja sebagai proses penyempurnaan hidup manusia atau dimensi ada (being). Panggilan hidup sebagai birokrat mengurai beberapa signifikasi dasar aktivitas kerja sebagai pelayanan.
Pertama, kaum birokrat sebagai abdi negara dan abdi masyarakat harus mampu menimbang tindakannya, keputusannya, dan memilih pilihan yang terbaik menurut nuraninya, baik untuk diri sendiri maupun untuk sesama, manakala naluri menguasai "mengintai" kepentingan bangsa. Ia harus mampu mengambil jarak, mampu menyangsikan, mampu bertanya, dan mencoba menjawab persoalan kema-nusiaan yang muncul dalam pelaksanaan tugasnya.
Kedua, kaum birokrat harus berdialektika dengan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan perkembangan eksplorasi pikiran dan tatanan zaman; yang benar dikatakan benar, yang salah dikatakan salah. Jangan sampai kebenaran diperjualbelikan hanya untuk seonggok kepentingan diri atau kelompok.