Lihat ke Halaman Asli

Pieter Sanga Lewar

Pasfoto resmi

Mari Membangun Habitus Ekologis

Diperbarui: 12 Juli 2020   15:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

"...Atau alam mulai enggan

bersahabat dengan kita...."

(Ebiet G Ade)

Saat fajar tahun 2020 merekah, jutaan warga Jabodetabok terteror oleh kepungan banjir dan tanah longsor. Belum sempat histeria dan euforia malam tahun baru "berpamit diri", banjir dan longsor telah menyebarkan kepanikan dan ketakutan yang luar biasa. Layaknya teroris, banjir memerangkap imajinasi manusia dalam bangunan kehancuran dan kerusakan materi kebendaan yang mengerikan, termasuk diri manusia itu sendiri. Bangunan perangkap imajinasi itu dapat membuyarkan resolusi impian tahun baru yang sempat bergelayut dalam  pikiran manusia.   

Magnitudo kehancuran dan kerusakan itu tersignifikasi dalam personifikasi bencana banjir model berita televisi, seperti "Banjir Mengepung Jabodetabek" (judul breaking news salah satu stasiun televisi swasta nasional). Personifikasi itu menggambarkan betapa dahsyatnya daya jebol  banjir dan longsor terhadap daya tahan kebendaan atau kapital apa pun. 

Nyatanya, kapital kemanusiaan jebol: puluhan orang hilang dan meninggal dunia, ratusan orang terluka, dan ribuan orang terpaksa mengungsi. Nyatanya, kapital ekonomi tergerus: sarana produksi dan finansial, baik individual maupun kolektif, mengalami kerusakan. Nyatanya, kapital sosial budaya pun terdampak: sarana pendidikan, sarana pelayanan umum, dan dokumen personalisasi diri (ijazah, KTP, SIM, akta) hancur berkeping-keping. Pada akhirnya juga nyata, kapital simbolik kekuasaan seperti "jabatan", mobil mewah, dan rumah elit terseret arus deras  banjir dan tanah longsor.     

Jebolnya berbagai jenis kapital itu melahirkan paling tidak dua sisi aksi, yaiu gerakan sosial karitatif dan "tindakan" konfliktual. Di satu sisi, solidaritas warga bangsa untuk membantu mereka yang terdampak bencana alam tidak perlu diragukan; bantuan dalam berbagai bentuk datang dari berbagai pihak. 

Namun, di sisi lain, ada "tindakan" konfliktual sebagai upaya merasionalisasi penyebab bencana hidrometeorologi: curah hujan ekstrem (377 mm per hari), tata ruang di wilayah hulu tidak memperhatikan potensi banjir, terhambatnya pembangunan waduk dan situ, normalisasi sungai tersendat, minimnya ruang terbuka hijau, dan ketidakmampuan pengendalian sampah.

Apa pun rasionalisasi yang dikedepankan oleh mereka yang diberi kuasa mengelola negara ini, tentu saja ada kevakuman jawaban atas pertanyaan mengapa bencana itu terjadi. Secara reflektif-teologis, kevakuman jawaban itu dapat diisi dengan sepenggal eleginya Ebiet G Ade dalam "Berita kepada  Kawan": /tinggal aku sendiri terpaku menatap langit/barangkali di sana ada jawabnya/mengapa di tanahku terjadi bencana/mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita/yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa/atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita/.

       

Krisis Ekologis 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline