Lihat ke Halaman Asli

Semua Mengejar Syurga Tanpa Terkecuali

Diperbarui: 7 Februari 2016   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

mungkin almarhum babah saya terlalu idealis dalam menentukan dimana harus tinggal, beliau selalu berkata; "lebih baik rumah itu dekat dengan masjid", saya tidak pernah bertanya mengapa.. yang saya ingat, sejak kecil dan beberapa kali kami berpindah, selalu ada masjid di dekat tempat kami tinggal, bahkan untuk menyambanginya saya hanya butuh lima langkah saja, hehe seperti judul lagu dangdut ya..

keluarga besar almarhum babah saya memang mereka yang terbiasa dengan kehidupan spiritual yang kuat, kalau orang-orang bilang aliran salah satu organisasi masyarakat muslim terbesar di Indonesia.

dan tanpa di sadari, saya menjadi pengikut idealisme almarhum babah saya tersebut, setelah saya menikah, dua kali saya berpindah selalu dekat dengan masjid, bahkan sekarang ini saya tinggal atau rumah saya tepat di belakang sebuah masjid di dalam suatu komplek perumahan pemerintah.

suatu malam, sambil menemani anak saya belajar, saya bercerita mengenai masa kecil saya, masjid menjadi tempat yang penuh kenangan. bersama beberapa teman kecil, entah karena merasa lebih nyaman dan aman, atau hanya karena lebih dekat dari rumah kami semua, tempat bermain kami adalah halaman masjid, tempat menuntut ilmu adalah di masjid. biasanya sepulang sekolah, kami melakukan sholat dzuhur berjama'ah, terkadang kami botram atau membawa makanan hasil dari masakan orang tua masing-masing, kemudian kami makan bersama dengan cara tukar menukar menu makanan. kebersamaan yang sangat menyenangkan, lokasi yang selalu kami gunakan untuk melakukan botram tersebut adalah salah satu sudut teras masjid, lebih mengarah ke bagian taman pemakaman wakaf masjid, kedengarannya menyeramkan ya.. tapi tidak buat kami, posisi itu sangat pas dan makam tidak pernah membuat kami menjadi ketakutan, karena kami selalu diingatkan, bahwa kami semua akan menyusul mereka, yang terpenting meyiapkan amal ibadah.

jika tidak tidur siang, pasti ada saja yang bermain di halaman masjid, saya sendiri pernah bermain boneka kertas di siang hari, mencuri waktu tidur siang, bermain disudut paling nyaman teras masjid kami, sore hari sesudah sholat ashar, yang juga kami kerjakan berjama'ah di masjid, kami belajar al quran, belajar mengaji, ada beberapa ustadz dan ustadzah muda yang siap membagi ilmu dengan anak-anak kampung seperti saya ini, biasanya sebelum mengaji, kami diberikan tugas membersihkan bagian-bagian tertentu dalam masjid dan tugas itu selalu bergantian tiap harinya. tempat mengaji anak laki-laki tidak sama dengan anak perempuan, yang laki-laki diajarkan oleh ustadz di pojok dalam masjid bagian depan, sedangkan untuk anak-anak perempuanoleh ustadzah dipojok dalam masjid bagian belakang atau shaf wanita. pada pelaksanaannya pengajian kami membaca doa belajar dan sholawat bersama-sama kemudian bergantian menyetor hapalan al-quran, sesuai dengan siapa yang terlebih dahulu datang.

disaat menunggu giliran, beberapa anak dari kami bahkan ada yang membawa alat permainan, seperti bekel, karet panjang, jadi bagi yang sudah selesai mengaji, sambil menunggu kami bermain, tidak sedikit juga yang sibuk mengulas membaca kembali bacaannya, walau sudah sering diperingatkan untuk menunggu dengan bersholawat tapi tetap saja beberapa dari kami melakukan permainan, dan tidak mengganggu sistem belajar mengajar al-quran, maklum deh namanya juga anak-anak ya.. sampai akhirnya doa penutup dilantunkan dengan bersama pula.

dahulu masa kecil di masjid kami, yang mengumandangkan adzan tidak melulu orang dewasa, karena kami.. terutama anak laki-laki, akan dipersiapkan untuk kumandang adzan, itupun adalah anak pilihan, yang suara-suara mereka sudah diuji bahkan sudah terlalu sering diikutsertakan dalam berbagai perlombaan, mereka mengumandangkan adzan sesuai jadwal atau perintah dari ustadz dan atau atas persejutuan pengurus masjid, salah satunya yang saya ingat adalah Lukman Nur Hakim.

nah.. mengenai suara adzan, ada pertanyaan menggelitik dalam pikiran saya, saya yang sejak kecil terbiasa mendengarkan suara syahdu para muadzin, baik muazdin dewasa ataupun anak laki-laki sebaya sya, sekarang atau tepatnya sudah duabelas tahun belakangan ini, karena saya tinggal di belakang masjid, saya sampai hapal suara muazdin yang itu itu saja dan kualitas suara yang awalnya sangat mengagetkan saya, serius loh, pertama kali dengar saya berucap; 'astaghfirullah, siapa yang adzan nih'.. uuppss dosa deh saya, bukannya menjawab panggilan sholat malah terkaget dengan suara, tapi seiring berjalannya waktu, ternyata bukan hanya saya yang mengeluhkan suara muazdin itu, beberapa kerabat dan teman yang kebetulan berkunjung dan pas waktu adzan pasti berlaku spontan seperti awal saya mendengar, belum lagi tetangga yang notabenenya penduduk lama di sekitaran masjid, anehnya.. tidak ada yang bisa memberitahu atau menggantikan. jika seperti ini, saya jadi merasa bersalah, masa panggilan sholat jadi seperti momok, bagaimana ini..? mungkin memang ada kesalahan dalam kepengurusan masjid dekat rumah saya sekarang atau karena memang tidak banyak yang mampu dan mempunyai keberanian untuk kumandang adzan..? apa saya dan orang-orang yang 'kaget' itu jadi berdosa atas kekagetan kami karena jadi seolah mencemooh..? padahal tidak sedikitpun niat hati untuk mencela, hanya saja alangkah baiknya disuarakan dengan syahdu mendayu, masa kalah dengan kontes akademi yang marak di tivi saat ini.

usut punya usut, ternyata muadzin masjid di daerah tempat tinggal saya adalah seorang laki-laki dewasa yang sedikit terganggu kesehatannya, hmm.. bukan gila tetapi mungkin karena penyakit fisik yang menahun dan kesendirian. pernah suatu kali ketika ditengah mengumandangkan adzan tiba-tiba penyakit ayannya kumat, sontak orang-orang di dalam masjid sibuk membantunya, adzanpun terhenti tak ada yang melanjutkan, tak jarang pula karena sifat keras kepalanya mengecoh waktu berbuka puasa di bulan ramadhan, mungkin juga pengurus masjid sudah kehilangan cara untuk melarang dan menggantikan dengan muazdin lainnya.

"kata guru agamaku, para muazdin akan dilebarkan jalan shiratal mustaqim-nya bu"

gadis kecil saya berkata, tiba-tiba saya terdiam, tak bisa lagi menjelaskan apapun, dalam pikiran saya; 'itulah yang dikejar atau yang dicari laki-laki muazdin di masjid kami itu meski dengan segala keterbatasannya, dan membuat pengurus masjid tak dapat berkutik, karena akhirnya; masjid milik umat..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline