Lihat ke Halaman Asli

Siswa Rizali

Komite State-owned Enterprise

Opini: Surat Utang Negara sebagai “Safe Haven Investment”

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ini adalah tulisan yg saya kirim ke sebuah koran ekonomi pada tanggal 5 September 2011. Idealnya saya tunggu publikasi di koran baru saya posting di blog. Tapi berhubung pasar obligasi bergerak luar biasa minggu lalu (yield 10, 20, dan 30-tahun masing-masing turun ke 6.4%, 7.2%,  dan 7.6%) maka saya terpaksa memposting di blog sekarang agar masih relevan cerita dengan dinamika pasar obligasi.

Catatan lagi: tulisan ini dengan revisi minor dimuat di harian KONTAN, tgl 16 September 2011, halaman 23, dengan judul "SUN Sebagai  Safe Haven Investment".

===========


Fenomena menarik terjadi dalam gejolak bursa finansial Indonesia di bulan Agustus 2011. Harga Surat Utang Negara (SUN) bertenor pendek-menengah (kurang dari 10 tahun) relatif bertahan bahkan kemudian menguat. Sedangkan harga SUN jangka panjang (lebih dari 10 tahun) hanya mengalami koreksi sementara dan kemudian pulih untuk mencapai titik tinggi baru. Kenaikan harga ini menyebabkan imbal hasil (yield) SUN bertenor 10-tahun dan 20-tahun turun masing-masing ke 6,8% dan 7,9% pada akhir Agustus, dari 7,0% dan 8,1% pada akhir Juli.Nilai tukar rupiah juga tidak mengalami depresiasi signifikan bila dibandingkan dengan kejatuhan di bursa saham. Ini mengindikasikan SUN menjadi pilihan investasi baru yang dianggap aman (safe haven investment) oleh investor global.

***

Di negara maju, harga obligasi pemerintah dan indeks harga saham bergerak berlawanan arah. Di masa resesi, obligasi pemerintah merupakan kelas aset aman yang memberikan imbal hasil (yield) pasti tanpa resiko kebangkrutan. Sehingga saat indeks saham terkoreksi dipicu ketakutan resesi,harga obligasi menguat dan memberikan keuntungan. Sebaliknya, bila pemulihan ekonomi diperkirakan akan terjadi, harga obligasi cenderung turun sedangkan indeks saham naik.

Namun di emerging market seperti Indonesia, investor global melihat obligasi pemerintah dan saham sebagai satu kelas aset yang sama beresikonya. Karena itu di emerging market indeks harga saham dan harga obligasi pemerintah akan sama-sama jatuh ketika terjadi gejolak finansial. Ini terjadi pada koreksi tahun 2008 dan awal 2011. Demikian juga saat krisis Yunani merebak Mei 2010, efek menular (contagion effect) menyebabkan obligasi pemerintah dan indeks saham emerging market mengalami koreksi signifikan.

Bahkan obligasi pemerintah menjadi indikator pendahulu (leading indicator) di bursa finansial. Misalnya di Indonesia harga SUN mengalami koreksi sejak Juli 2007 dan mencapai titik terendah pada November 2008, padahal Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru bergejolak pada Januari 2008. Di tahun 2010, harga SUN mulai koreksi di akhir Oktober dan mencapai titik terendah pada akhir Januari 2011,sementara IHSG masih membentuk titik tinggi baru. IHSG baru mengalami koreksi signifikan pada Januari-Maret 2011, di masa harga obligasi sudah mengalami pemulihan yang konsisten. Pada saat pemulihan, harga obligasi cenderung lebih dahulu naik. Jadi di negara berkembang, harga obligasi pemerintah dan indeks saham berkorelasi positif.

Pada saat gejolak ekonomi terjadi, obligasi memang menjadi pilihan investasi yang memberikan kepastian imbal hasil dan keamanan (karena dibayar pada nilai nominal pada saat jatuh tempo). Dua kriteria utama yang menjadikan obligasi emerging market sebagai pilihan investasi yang aman (safe haven investment) yaitu: negara penerbit obligasi memiliki fundamental ekonomi yang kuat dan imbal hasil yang relatif tinggi. SUN Indonesia memiliki kedua kriteria tersebut.

Selama ini obligasi negara maju dianggap aman karena negara maju diasumsikan tidak akan mengalami kebangkrutan. Kemajuan bursa finansial negara maju menjadikan obligasinya sangat likuid. Meski imbal hasil rendah, obligasi negara maju menjadi pilihan safe haven investment. Sejalan dengan memburuknya kondisi anggaran pemerintah, maka mulai timbul pertanyaan akan keamanan obligasi negara maju. Sebagai gambaran, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Amerika, Jepang, Jerman, dan Perancis masing-masing mencapai 90, 190, 80, dan 85 persen. (Catatan: Bank Dunia, IMF, and Uni Eropa menganggap rasio utang diatas 60% PDB sebagai potensi bermasalah). Selain itu, ekspansi moneter yang berlebihan membuat stabilitas daya beli internal (= inflasi) dan eksternal (= kurs) uang negara maju juga dipertanyakan.

Saat ini, justru negara-negara emerging market yang memiliki fundamental yang kuat. Misal Indonesia beban utang pemerintah terus turun menjadi 26% PDB pada akhir 2010 dari 85% PDB ditahun 2000. Pada krisis finansial 1998, Indonesia menjadi yang tertimpa krisis paling parah diantara negara ASEAN. Saat ini stabilitas ekonomi makro Indonesia sama baiknya seperti Thailand, Malaysia, bahkan lebih baik daripada Filipina.

Dengan perbaikan fundamental yang berkelanjutan, imbal hasil obligasi Indonesia masih sangat tinggi. Baik dibandingkan terhadap imbal hasil negara maju maupun negara emerging market lain di ASEAN.

Imbal hasil SUN bertenor 10 tahun, sebagai acuan target kebijakan makro, per akhir Agustus 2011 berada di 6,8%. Sedangkan imbal hasil obligasi pemerintah Malaysia dan Thailand untuk tenor yang sama masing-masing 3,6% dan 3,5%. Anehnya imbal hasil SUN lebih tinggi daripada Filipina, yaitu 5,9%, yang kondisi ekonomi, politik, dan peringkat investasi lebih jelek dari Indonesia.

Prospek penguatan nilai tukar rupiah juga merupakan daya tarik investasi di SUN. Negara yang mengalami permasalahan utang dan melakukan ekspansi moneter berlebihan akan mengalami kejatuhan nilai tukar. Inilah mengapa nilai Amerika Dolar terus melemah terhadap mata uang utama seperti Swiss, Kanada, dan Australia.Mata uang alternatif dengan prospek penguatan berasal dari emerging market seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Ini menambah daya tarik investasi obligasi pemerintah emerging market berdenominasi mata uang domestik (seperti Ringgit, Bath, dan Rupiah) daripada yang berdenominasi Amerika Dolar.

Implikasi Investasi. Secara historis imbal hasil SUN saat ini berada pada titik terendah. Sebagai gambaran, sepanjang 2004-2009, imbal hasil SUN bertenor 10-tahun rata-rata 11,5%, berfluktuasi antara 9% sampai 16%. Imbal hasil SUN yang rendah membuatnya tidak menarik bagi investor domestik, baik ritel maupun institusional (asuransi dan dana pensiun). Tetapi, era imbal hasil tinggi SUN sudah berlalu. Secara siklus ekonomi, imbal hasil SUN dapat naik signifikan, namun perbaikan stabilisasi ekonomi makro dan prospek peningkatan peringkat investasi Indonesia akan membuat imbal hasil obligasi cenderung menurun berkelanjutan. Bila melihat imbal hasil obligasi pemerintah Filipina, Thailand, dan Malaysia, sangat mungkin imbal hasil SUN 10 tahun turun mendekati 6%. Karena itu, koreksi harga SUN (atau kenaikan yield) harus dimanfaatkan oleh investor institusional untuk memperbaiki profil portofolio jangka panjang yang memberikan hasil investasi pasti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline