"Om, Dokter bilang Mama uda boleh pulang dalam beberapa hari."
"Ke rumah Om aja, ya. Ada Tantemu di rumah yang juga bisa bantu jaga Mamamu bergantian."
"Apa nggak ngerepotin, Om?"
"Kayak sama orang lain aja, deh."
Kondisi Mama kian membaik setelah melewati masa kritisnya. Aku hampir saja kehilangan Mama karena percobaan buhun dirinya. Walau pun kondisi kesehatan Mama mulai membaik, tapi kondisi mentalnya justru semakin memburuk. Pandangan mata Mama kosong. Senyumnya hilang. Aku bahkan hampir tak pernah mendengar Mama memanggil namaku setelah sadar dari masa kritisnya.
"Mar, kondisi kejiwaan Mamamu gimana?"
"Aku nggak bisa diagnosa Mama sekarang, Om. Kami punya kode etik yang nggak bisa kami langgar. Mungkin setelah Mama keluar dari rumah sakit ini, aku baru bisa bawa Mama konsultasi. Tapi kalo sekilas lihat kondisi Mama cukup serius." Kenyataan ini yang membuatku terpukul. Aku, seorang psikolog klinis yang sedang merasa gagal menolong Mamaku sendiri.
"Tapi Mamamu bisa sembuh, kan?"
"Aku nggak bisa menjawab terlalu cepat untuk pertanyaan Om yang satu itu."
Tante Qanita menyambut kami dengan begitu hangat. Dia bahkan sudah menyiapkan makanan kesukaan Mama.
"Aku bawa Mama ke kamar dulu ya, Tan. Biar Mama bisa istirahat." Aku pamit membawa Mama dari meja makan.