Ini hasil jepretan amatir saya saat berada di acara 'Te
tembungan' pernikahan putra Presiden Jokowi. Minder juga saya berada di antara jurnalis beneran dan kawakan. Hampir semuanya membawa kamera besar dan bermoncong panjang. Sedang saya cuma membawa 'nekat' yang entah ada hubungan atau tidak dengan 'tekad'.
Saya kira banyak media sudah memiliki data-data valid untuk mengulas dengan detil pernikahan ini. Mulai acaranya apa saja, pakaian buatan siapa, makanannya apa, reportase seperti itu. Sedang saya.... Saya malas bertanya, malas mencatat, dan malas mewawancara. Bisa dibayangkan akurasi data saya. Benar-benar abal-abal.
Jadi saya putuskan untuk membuat reportase yang sangat sederhana: apa yang saya rasakan selama acara pernikahan tersebut. Subyektif memang, tapi satu hal saya yakin , bicara tentang 'rasa' selalu meninggalkan kenangan yang melekat kuat. Tak mudah berlalu...
Pertama-tama saya merasakan pesta yang biasa sekali. Seperti pesta warga biasa dan bukan pejabat wahid Indonesia. Rasa 'biasa' itu sudah dimulai ketika saya menyusuri jalan menuju rumah mempelai putri. Hujan sore tadi meninggalkan jejak becek, jejak perkampungan orang biasa. Rumah mempelai yang juga biasa, dengan dekorasi biasa juga. Pranatacara (MC acara berbahasa Jawa) juga hanya menyebut keluarga mempelai pria sebagai keluarga Bapak Joko Widodo, tanpa embel-embel haji dan Insinyur, tanpa sebutan Presiden RI. Rombongan mempelai juga tidak memakai busana seragam, seperti kebanyakan pesta para pemimpin di Indonesia. Biasa...biasa....biasa... Kata pertama yang mewakili apa yang saya rasakan.
Kedua, 'cepat dan tepat waktu'. Saya datang di lokasi pukul 18.45, karena acara direncakan tepat pukul 19.00. Dalam hati terbesit, "Pasti molor nih "
Ternyata tidak. Tepat pukul 19.00 Jokowi tiba di rumah mempelai putri. Sebelumnya beliau dan rombongannya berjalan kaki dari rumah Beliau yang berjarak sekitar 500 m, dalam langkah yang panjang dan cepat. Saya sungguh kagum dengan kemampuan Ibu Iriana yang mampu menyesuaikan diri dengan langkah bergegas Pak Jokowi, meski berbusana kebaya dan memakai kain jarik. Kamera saya bahkan tak mampu mengikuti kecepatan gerak Pak Jokowi, sehingga semua foto Beliau terlihat blur. Tepat jam 20.00, acara tembungan selesai. Presiden kembali berjalan menuju kediamannya. Dalam langkah yang panjang dan bergegas...
Rasa ketiga yang saya rasakan adalah 'berani'. Selepas acara, Pak Jokowi mendadak ingin meninjau gedung resepsi. Dengan ringan Beliau melangkahkan kakinya menuju tempat resepsi, tanpa Paspampres sempat mensterilkan jalan raya di depan gedung resepsi. Jadilah beberapa pengemudi terperangah karena mendadak mendapati ada Presiden RI di depannya, sedang menyeberang jalan yang ramai. Saya bahkan sempat mendengar umpatan pelan seorang Paspampres karena panik. Paspampres lain menjelaskan betapa Presiden yang satu ini terlalu sering bertindak spontan yang membuat pengawalnya terbirit-birit.
Rasa berani ini, kemudian bertaut dengan rasa salut. Selama acara, penduduk setempat dibiarkan berkumpul dalam jarak yang sangat dekat. Jokowi menyalami mereka satu persatu. Seorang penduduk berpenampilan sederhana menyapa Beliau dalam bahasa Jawa, "Pak Jokowi, masih ingat nggak dengan saya? Saya dari RW 7."
Pak Jokowi langsung tertawa, "Pak Bambang ya...."
Itulah yang saya rasakan ketika berada di acara Tembungan tadi. Ditambah rasa lapar saat pulang, karena capek mengikuti Pak Jokowi berjalan cepat ke sana ke mari.
PS:
Gibran tadi tampil mengenakan kacamata berbingkai hitam, yang nyaris saya kira itu Kaesang. Mereka berdua terlihat sangat mirip. Apalagi, entah kenapa, Gibran kali ini terlihat banyak tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H