Lihat ke Halaman Asli

Ke Mana Lagi Publik Harus Percaya?

Diperbarui: 6 Juli 2024   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam beberapa waktu terakhir, kita telah menyaksikan bagaimana pemerintah secara serampangan menghasilkan produk hukum yang justru menciderai hak-hak masyarakat. Betapa tidak, dalam rentan waktu yang cukup singkat, pemerintah menerbitkan peraturan dan merevisi undang-undang dalam jumlah cukup banyak yang justru tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Ironinya, berbagai kebijakan yang dihasilkan tersebut justru cacat hukum dan hanya mengakomodir kepentingan segelintir golongan.

Rasa-rasanya, perjuangan untuk menegakkan keadilan dan mencapai kesejahteraan tampak sia-sia jika melihat apa yang terjadi hari ini. Amanat reformasi reformasi yang menjadi titik balik bagi kita untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara sirna oleh mereka yang haus dan rakus materi dan kekuasaan. Betapa sesaknya kita sebagai warga negara saat dipertontonkan dengan perilaku amoral yang justru dilahirkan oleh para pemegang otoritas di negeri ini.

Kita perlu menyadari, bahwa kondisi demikian akan terus terjadi saat hukum dan kekuasaan dipermainkan dan tidak ada suara yang menyadarkan dan menggerakkan. Akibatnya, masyarakat kecil akan terus menjadi komoditas yang diperdagangkan dan hanya menjadi objek yang tak berharga. Lingkaran setan kemiskinan yang menjadi musuh bagi banyak masyarakat kita justru akan terus langgeng. Karenanya, upaya untuk terus bersuara menjadi salah satu kunci untuk menggambarkan fenomena yang terjadi hari ini, sekaligus menyadarkan.

Tumpulnya Demokrasi

Sebagai salah satu dari empat cabang kekuasaan, media memiliki peran penting bagi setiap insan demokrasi untuk menyampaikan pikiran dan mengemukakan pendapatnya di ruang publik. Hal ini tentu diperlukan sebagai perwujudan sebagai sebuah negara demokrasi. Sejarah panjang Indonesia telah menunjukkan bagaimana media memainkan peran penting di dalam menjaga dan mengawasi berjalannya. Media menjadi semacam alat yang mampu mengawasi pemerintah dan kekuasaan dalam bertindak.

Namun demikian, para pemegang otoritas rasanya berupaya mereduksi peran media sebagai alat pengontrol kekuasaan. Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang diajukan berpotensi membungkan karya jurnalistik dan suara pers, yang justru selama ini menjadi informasi bagi publik untuk mendapatkan fakta-fakta mutakhir. Salah satu poin bermasalah dalam draf tersebut adalah larangan siaran eksklusif investigasi. Padahal, salah satu tugas utama jurnalis ialah melakukan investigasi.

Di banyak kasus, jurnalis justru berperan sebagai pembantu pengungkapan kasus pada kejaksaan. Publik telah melihat bagaimana pers bekerja melalui investigasi untuk menunjukkan fakta yang terjadi di lapangan. Peran ini tentu sangat berharga untuk melihat proses hukum berjalan sekaligus sebagai bentuk transparansi. Saat peran pers, khususnya upaya untuk melakukan investigasi dibatasi, bukan tidak mungkin demokrasi kita justru semakin tumpul.

Terakumulasinya Kekuasaan

Salah satu amanat penting dari reformasi adalah penghapusan dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI diklaim oleh banyak pihak sebagai sumber terjadinya KKN di mana militer memegang peranan penting dalam menjalankan pemerintahan. Fenomena ini mengakibatkan sistem pemerintahan tidak transparan sebab ABRI menguasai militer dan pemerintahan secara bersamaan. Selain itu, penyelanggaraan negara sering kali menggunakan cara-cara represi dalam mengendalikan kekuasaan, sehingga cenderung bepotensi melakukan pelanggaran HAM. Karena itulah, reformasi mengamanatkan untuk menghapus dwifungsi ABRI yang cenderung superior.

Tetapi demikian, amanat tersebut berpotensi dikhianati melalui revisi Undang-Undang (UU) TNI yang diusulkan oleh DPR dengan memberikan kelonggaran bagi militer untuk tidak lagi dibatasi dalam menduduki jabatan di kementerian maupun lembaga negara. Upaya untuk merevisi UU tersebut semakin memberikan keleluasaan kepada TNI untuk menduduki jabatan di instansi sipil. Padahal, pembatasan dominasi kekuasaan menjadi krusial sebagai bentuk akuntabilitas terhadap publik.

Ihwal ini diperparah dengan pengajuan revisi Undang-Undang (UU) Polri atas usul inisiatif DPR yang memperpanjang masa jabatan petinggi Polri dan justru menempatkan Polri sebagai institusi gemuk kekuasaan. Revisi ini juga memuat daftar kewenangan yang mengarah pada konflik kepentingan (conflict of interest) melalui perluasan kewenangan. RUU ini justru menciptakan institusi superbody yang menjerumus pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dalam kondisi demikian, amanat mereformasi untuk menghapus dwifungsi ABRI hanya menjadi mimpi yang berada di menara gading, dan kebebasan sipil akan terus terancam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline