Lihat ke Halaman Asli

Kekuatan Perkataan

Diperbarui: 7 April 2024   14:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat membaca beberapa kicauan netizen di kolom komentar media sosial, saya sering kali melihat orang yang meremehkan peran kata-kata dalam kehidupan mereka. Seolah, perkataan tidak mewakili pikiran dari orang yang berbicara. Padahal kita semua tahu, perkataan yang keluar dari mulut seseorang adalah salah satu indikator utama untuk menilai sejauh mana isi pikirannya. Perkataan merupakan akumulasi dari pengetahuan yang dimiliki seseorang. Semakin baik dan berkualitas perkataan seseorang, tentu semakin nampak pula bahwa ia memiliki wawasan yang luas dan pemahaman yang mendalam.

Setiap dari kita tentu tahu dan bisa membedakan, mana perkataan yang berisi dan bermutu, dan mana perkataan yang sempit dan mengkerdilkan. Saat kata-kata muncul dari mulut seseorang, ia dapat memengaruhi pikiran dan perasaan orang lain. Perkataan tidak hanya berhenti pada pendengaran, tetapi ia bisa masuk di dalam relung hati sanubari. Perkataan kemudian diproses dalam pikiran dan dapat termanifestasikan dalam perilaku hingga mampu merubah hidup orang lain.

Maka naif rasanya jika peran perkataan dikesampingkan hingga bahkan dilupakan dalam kehidupan sehari-hari. Perkataan bisa berperan pada berbagai rupa. Ia bisa menjadi penyemangat bagi jiwa yang putus asa. Sebaliknya, kata-kata juga bisa berperan menjadi energi yang menghancurkan bagi orang yang menerima cercaan atau bahkan umpatan. Sebagaimana pepatah Arab menyebutkan, "Perkataan itu dapat menembus apa yang tidak dapat ditembus oleh jarum."

Dahsyatnya Kata-Kata

Pada saat tertentu, kita sering kali mengungkapkan kata yang sama. Ungkapan kata ini adalah deskripsi dari bagaimana kita melihat segala kemungkinan yang terjadi. Misalnya, "Saya tidak bisa", "Saya tidak akan berhasil", "Itu di luar kemampuan saya", dan seterusnya. Saat kita secara terus-menerus mengungkapkan frasa demikian, tanpa disadari pikiran kita akan terprogram dengan sendirinya. Dan saat itu pulalah, kita mendesain diri kita gagal dan tidak akan berhasil pada segala kemungkinan yang terjadi.

Padahal, kemungkinan itu bisa bermuara pada 2 hal, terjadi dan tidak akan terjadi. Terjadi saat kita mengungkapkan kata-kata optimis yang pikiran kita memproses agar mewujudkan kemungkinan tersebut. Dan tidak akan terjadi saat diri kita memprogram kata-kata pesimis yang bermuara pada keengganan untuk mencoba segala kemungkinan. Semuanya bergantung pada perkataan yang secara tidak langsung mencerminkan sikap kita. Demikian juga saat kita bertemu dengan orang lain. Suasana berbeda akan terjadi saat kita menemui seseorang yang mengeluarkan kata-kata yang mengandung spirit dan bernilai yang mengantarkan pada harapan, dengan seseorang yang mengeluarkan kata-kata yang jauh dari kebahagiaan dan semangat hidup. Sebab hanya sebagian orang yang mengawasi perkataan yang akan dikeluarkan, dengan menyadari bahwa melalui perkataannya, dia sedang memprogram pikirannya untuk berhasil.

Lihatlah contoh sederhana, dalam beberapa kegiatan, bagaimana para ulama', motivator, dan tokoh publik lainnya, menggunakan kata-kata sebagai perantara untuk menyampaikan isi pesan alam pikiran mereka. Namun tidak jarang, saat acara itu diselenggarakan, justru orang-orang yang hadir cenderung tumpah ruah dan membludak. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa kata-kata sangat berperan penting dalam kehidupan seseorang, yang kadang kala menjadi sumber energi bagi seseorang, dan oleh karena itu banyak orang yang ingin mendengarnya.

Kondisi ini tentu berbeda saat seseorang berada pada titik rendah dalam hidup. Ia membutuhkan energi untuk mengembalikan semangat hidup. Namun tidak dengan individu yang ucapannya selalu negatif dan bermuara pada keputusasaan. Alih-alih memberikan kekuatan pada jiwa, ia cenderung mereduksi spirit dan justru menyebarkan energi negatif. Karena itulah peribahasa Arab mengatakan, "Keselamatan manusia terletak pada lidahnya." Saat kita mampu menjaga lidah dan perkataan dari kalimat-kalimat yang tidak bermanfaat, saat itulah keselamatan semakin dekat kepada kita.

Berkatalah dengan Bijak

Sering kali ada saat di mana kita merasa kesal dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi. Situasi ini terjadi karena tindakan yang kita lakukan, situasi yang berada dalam kendali kita. Bahasa yang sering kali kita temui seperti, "Mengapa pekerjaan saya tidak selesai-selesai ya!", "Tugasnya sulit, saya jadi malas mengerjakannya", dan seterusnya.

Sebenarnya, ucapan-ucapan ini adalah perkataan yang dapat dihindari, atau justru tidak keluar sama sekali. Namun secara tidak sadar, kata-kata yang keluar dari mulut kita acapkali adalah bahasa yang bernada mengeluh. Ia timbul dari sikap yang kerap merasa bahwa hidupnya sangat berat. Padahal, ia tidak tahu, bahwa di luar sana terdapat banyak orang yang mengalami persoalan yang lebih berat, yang justru permasalahannya lebih patut untuk dicemaskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline