Pukul 6.07 senja. Langit sudah gelap. Entah karena matahari sudah bergulir ke sisi barat atau karena awan-awan mendung yang memayungi seluruh kota.
Pukul 6.15. Gerimis mengucur deras. Payung-payung terbuka. Tapi tidak payungmu. Dia masih tersampir pasrah di bangku taman, menemanimu menunggu.
Pukul 6.17. Gerimis berganti hujan dan angin. Payungmu masih tertutup. Jadi aku membuka payungku yang tadinya juga menanti pasrah. Kamu pun duduk merapat ke sisiku. Kita membiarkan hujan yang menari-nari di atas payung jatuh membasahi sepatu dan ujung celana kita.
Pukul 6.20. Tidak ada bintang-bintang, jadi lampu jalan dan neon box menggantinya menerangi malam. Kamu masih menunggu, aku menemanimu menunggu, juga payung yang masih tertutup dan menanti pasrah.
Pukul 7.10. Hujan telah berganti gerimis. Kamu terlihat kecewa. Pelan-pelan kamu membuka payungmu dan bersiap-siap pergi. Aku pun berdiri menjajari langkahmu.
"Aku tidak keberatan menenamimu lebih lama lagi. Sebenarnya ... aku juga sedang menunggu seseorang," sergahku.
"Oh begitu. Siapa yang kamu tunggu?" tanyamu.
Aku malu-malu menjawabnya. "Sebenarnya aku sedang menunggu ... keberanian!"
Kamu terkejut. "Oh ya. Sepertinya kita sedang menunggu orang yang sama."
Giliran aku yang terkejut.
Kamu menyunggingkan senyum. Ajaibnya, senyum itu menular dengan cepat.
Pukul 7.20. Bangku taman telah sepi.
---
kota daeng, 29 desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H