Hari baru akan menghempaskan pantatnya ke atas kursi pesawat, saat tatapannya tertuju pada salah satu awak kabin yang sedang menata bagasi penumpang tidak jauh di depannya. Wajah manis dan mata bening di atas masker itu membuat memorinya spontan koprol ke masa belasan tahun silam.
Cindy Herianti. Cewek manis kawan se-SMA, cinta pertamanya. Sayang sekali, sampai mereka merayakan kelulusan, Hari tidak pernah sekalipun menyatakan perasaannya. Padahal dia memiliki begitu banyak kesempatan untuk itu. Mereka berdua sama-sama mengikuti ekskul marching band, tinggal berdekatan kompleks bahkan kerap satu kelompok saat mengerjakan proyek dari guru-guru.
Tapi apa daya? Rasa malunya lebih tebal daripada rasa cinta yang harus diungkapkan.
Setelah itu sosok Cindy perlahan-lahan terlupakan, sejak meninggalkan kota kelahiran, bergelut dengan tugas-tugas kuliah, meniti karir dan bisa dibilang menjadi agen asuransi sukses saat ini.
Selain tatapan mata dan cara menata rambut sebahunya yang sepintas lalu masih sama, kini Cindy telah nampak begitu dewasa.
Beberapa kali tatapan mereka bertabrakan, tapi Cindy mungkin tidak akan langsung mengenalinya sebagai teman SMA dahulu. Masker dan kacamata minus yang terpampang di depan wajah memang membuat penampakannya jauh berbeda dari wajah terakhir yang dilihatnya saat mereka masih SMA.
Cindy H.
Saat sosok awak kabin itu mendekat, Hari bisa melihat tulisan yang tertera jelas pada emblem namanya. Sudah yakin 100% tidak salah orang. Potongan memori manis yang berkelebatan membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Jangan-jangan penerbangan ini adalah jalan Tuhan mempertemukan kami kembali, batinnya.
Saat ini Hari juga sedang berstatus single. Dia sering jadi bahan candaan kawan-kawan kantor karena statusnya itu, terutama karena sebentar lagi usianya akan menginjak kepala tiga.
Hari pun berniat menyapa Cindy secara khusus, setelah para awak kabin memperagakan demo keselamatan dan pesawat take off dengan sempurna.