Kakek dalang yang sudah sepuh meradang. Tidak ada lagi wayang kulit yang bergerak lincah di balik kelir pentas membawakan lakon-lakon epik di depan puluhan bahkan ratusan pasang mata.
Setelah pertunjukan wayang dilarang, kakek dalang seperti kehilangan separuh nyawanya. Dia pun menjalani hari-hari penghabisan dengan mengelus-elus wayang kulit seperti mengelus anaknya sendiri.
Jari-jari mulai yang mulai renta dan rapuh mengukir kenangan tidak kasat mata di atas wayang-wayang itu.
Suatu hari kakek dalang bermimpi memainkan wayang kulit di sebuah pesta besar di surga. Tamu-tamu undangan adalah mereka yang selama hidupnya berbuat kebajikan. Kakek dalang tidak tahu siapa tuan rumah pesta itu. Tapi dia tidak merasa perlu mencari tahu, karena sudah cukup bahagia berada di balik kelir memainkan lakon Ramayan yang tersohor itu.
Pagelaran wayang digelar semalam suntuk, tapi kakek dalang merasakan adrenalinnya mengalir lancar. Penonton yang antusias, suara gamelan yang syahdu, suara sinden yang merdu dan aroma blencong yang khas telah menjadi candu untuknya.
Di puncak cerita, mimpi kakek dalang ambyar.
"Kek, ayuk bangun, Kek. Ceramahnya sudah selesai," sang cucu yang duduk di samping membangunkannya.
Dari kejauhan dia tersenyum kecut memandang pemuka agama yang sedang beres-beres di balik podium. Dia pun bertekad lebih sering mengikuti ceramah agama seperti ini. Bukan karena ceramahnya, dia hanya ingin bertemu mimpi yang sama kembali.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H