Namaku udara. Tidak kasat mata, bukan berarti aku tiada. Tidak terasa, bukan berarti aku tidak punya nilai apa-apa. Malah, sesungguhnya aku begitu berharga untuk kalian, wahai manusia.
Coba eja sepotong suku kata saja. Ucapkan dan dengarkan dengan seksama. Kamu akan menemukanku di sana. Dengarkanlah saat aku merambat di dalam rongga hidungmu, dengarkan ritme paru-paru yang menari bersamaku di dalam rongga dadamu, dengarkan aliran kehidupan di dalam seluruh pembuluh darahmu.
Memang frekuensinya terlalu lemah untuk gendang telingamu. Tapi yakinlah, aku begitu ensensial untuk eksistensimu. Kamu tidak akan bertahan beberapa menit saja tanpa diriku.
Ya, akulah yang ikut menopang kehidupanmu selama ini. Membawa keluar karbondioksida yang bisa meracunimu, mengantarkannya ke pucuk-pucuk rerumputan, hutan dan padang, dan sebagai gantinya aku memanen oksigen yang akan kuantar kembali tepat ke ujung hidungmu. Aku sudah melaksanakan tugasku dengan baik ribuan tahun lamanya.
Tapi tidak pernah ada kata cukup untukmu, bukan? Wahai, makhluk superior penguasa bumi?
Padahal ibu bumi bukan sepenuhnya milikmu. Ibu bumi adalah milik semua makhluk yang tinggal dan berlindung padanya.
Lihat apa yang terjadi di depan mata? Dalam beberapa dekade saja, kalian meruntuhkan harmoni peradaban dan lingkungan yang dibangun berabad-abad lamanya. Semakin banyak karbon dari pabrik-pabrik dan mesin-mesin yang kalian ciptakan, tapi semakin sedikit hutan, padang dan rerumputan yang kalian sisakan? Lalu apa yang kalian harapkan?
Kalian pikir polusi adalah masalahku dan bukan masalah kalian? Atau kalian sedang ingin mengujiku? Menganggap aku hanya benda mati yang bisa dimanipulasi sesuka hati?
Ketahuilah, aku sudah hidup jutaan tahun bersama ibu bumi, bahkan sebelum kalian tumbuh dari sebuah sel. Dan aku masih akan terus hidup selagi ibu bumi masih setia merangkulku, dengan atau tanpa jejak-jejak karbon kalian.
Jadi, mari kita lihat sampai di mana nalar akan mengantar kalian.