"Kamu tahu tidak, kenapa cahaya bintang sering disebut cahaya dari masa lalu?"
---
Malam nyaris mencapai puncaknya, ketika Indri mendekati sisa-sisa api unggun di halaman belakang wisma yang lapang. Bimo ada di situ, duduk di atas tumpukan kayu umpan api unggun yang tidak terpakai lagi. Wajah bulatnya berwarna jingga samar-samar karena pantulan api unggun.
"Hai, Bimo," sapa Indri. Rambutnya yang dikuncir ke belakang, berayun mengikuti irama langkahnya.
Bimo berpaling dan membalas sapaan Indri. Dengan gerakan beringsut ke sisi kiri, dia memberi isyarat agar Indri duduk di sampingnya yang masih cukup lega.
Mereka baru saja merampungkan upacara api, demikian mereka menyebutnya, salah satu sesi pada latihan dasar kepemimpinan yang diadakan untuk puluhan mahasiswa-mahasiswi tingkat I.
Mahasiwa-mahasiswi baru itu diminta menuliskan kebiasaan-kebiasaan buruk mereka pada selembar kertas, lalu pada saat upacara api berlangsung, kertas-kertas itu dilemparkan ke dalam nyala api unggun sebagai simbol mereka akan menghilangkan kebiasaan tersebut. Sebuah seremoni yang cukup berkesan.
"Belum ngantuk, In?" tanya Bimo.
"Belum. Sepertinya dua cangkir kopi hitam tadi mulai bereaksi," sahut Indri sembari melengkungkan senyum dan duduk di sisi Bimo.
Wajahnya tirusnya juga ikut memantulkan semburat warna jingga dari api unggun.
Keduanya memang mengenakan jaket tebal untuk mengenyahkan dinginnya malam tapi sepertinya bukan karena jaket itu udara tiba-tiba menghangat.