Aku membuat 12 bingkai
dari formula yang tidak biasa: resesi, inflasi, deflasi, kontraksi, ekonomi dan kerut di dahi bu Sri Mulyani.
Agar lebih kuat dan tahan lama
kutambahkan berita tentang pertambahan kasus Covid-19 yang sudah di atas 4.000 orang per hari.
Lalu pada setiap bingkai kumasukkan lembaran merah
uang BLT yang baru saja ditarik dari rekening dengan semringah.
Uang merah dalam bingkai pun menghias dinding-dinding kamar
menjadi pengingat akan masa-masa sulit yang melilit
akan drama kolosal tentang perusahaan dan pabrik yang pailit
akan masa normal baru yang aromanya manis tapi rasanya pahit
akan perjuangan bangsa yang ekonominya sedang sembelit.
Telepon dari karyawan bank membuyarkan permenunganku,
"Angsuran bulan ini belum dibayar, Pak."
"Lah, belum dipotong dari rekening, ya?" aku menyahut ketus.
"Uang dalam rekening nggak cukup. Barusan ditarik 1,2 juta, kan?"
"Itu kan uang BLT dari Pak Jokowi, Pak," aku menyahut makin ketus.
"Hah!? dapat BLT juga ya, Pak? Bapak kan pengusaha, bukan karyawan," karyawan bank ikut menyahut ketus.
"Oh, uang dalam rekening itu bukan uang BLT ya?"
"Bukan, Pak. Itu uang angsuran yang belum didebet."
Setelah menepuk jidat dan menutup telepon, aku mengeluarkan kembali lembaran-lembaran uang merah dari dalam bingkai.
Pada mereka kuucapkan salam perpisahan
seperti wanita yang melepas kekasihnya berlayar mengarungi luasnya lautan.
---
kota daeng, 23 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H