Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Cerpen | Malaikat yang Menyulam Sayapnya Sendiri

Diperbarui: 14 Juni 2020   17:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar dari https://www.learnreligions.com (getty image)

Malam itu begitu dingin, karena langit dipenuhi hujan. Guruh dan petir bersahut-sahutan. Tiba-tiba seorang malaikat jatuh di atap rumah kami. Sayapnya rusak parah terkena sengatan petir berdaya ribuan volt yang menghalangi jalur terbangnya. Hampir seluruh sayap yang mestinya putih bersih menjadi legam dan meninggalkan bau hangus yang tajam.

Selain sayapnya yang terluka, malaikat itu terlihat baik-baik saja. Wajahnya putih bersih. Awalnya kukira karena pucat menggigil, tapi bukan. Wajahnya memang putih berkilau. Siapa pun yang memandangnya seketika merasa teduh dan damai.

Sejak malam itu aku, istri dan anak-anakku sepakat merawat malaikat itu di dalam rumah kami.

Dia rupanya bisu. Tapi kami punya cara sendiri untuk berkomunikasi. Entah mengapa, kami seperti bisa saling memahami maksud hati tanpa perlu berkata-kata. Bahasa kalbu, telepati, atau entah apa namanya cara berkomunikasi seperti itu.

Dia bertanya berapa lama diizinkan tinggal, dan kami pun menjawab selama yang dia butuhkan. Kebetulan di lantai dua ada kamar tamu yang kosong dan kami jarang sekali menerima tamu di rumah.

Oh ya, sayapnya yang rusak terkena sambaran petir sudah dilepaskan dan kami menguburnya di belakang rumah.

Karena dia seorang malaikat, kami memanggilnya Angel. Dia tidak keberatan dengan nama itu. Clarice, istriku, memberinya sebagian dari koleksi pakaiannya. Untunglah dia bisa makan dan minum seperti manusia pada umumnya, jadi dia tidak menemui kesulitan tinggal bersama kami.

Dia selalu lebih dahulu bangun daripada kami semua. Aku pernah mendapatinya jam 5 pagi di beranda atas menatap bintang-bintang dengan mata yang sendu. Ada percik kerinduan di antara matanya.

Aku bisa memahami bagaimana rasanya rindu itu, sama seperti kerinduan untuk pulang ke kampung halaman. Aku selalu mencoba menanyakan bagaimana caranya kami dapat membantu dia kembali pulang, bagaimana cara menumbuhkan atau mendapatkan kembali sayapnya, tapi dia nampak bingung bagaimana menjawabnya.

Tapi suatu pagi kami menemukan jawabannya.

Dia turun dari kamarnya dengan gembira. Sesampai di meja makan dia membuka tangannya dan memperlihatkan kepada kami sehelai bulu, seperti bulu angsa, hanya lebih panjang, berwarna putih perak dan menebarkan wangi seperti aroma melati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline