Setiap pagi tiba kamu melemparku dengan bantal, setelah alarm handphone gagal membangunkanku. Kesal sebenarnya, tapi setelah melihat deretan gigi putihmu, kesalku hilang berganti dengan cinta.
Setelah itu kita berdua "menyelamatkan diri" masing-masing, karena harus segera menempuh jalan-jalan macet ibu kota. Sering aku menahan dongkol karena kamu terlalu lama "berkontemplasi" di dalam kamar mandi, padahal di saat-saat seperti ini setiap detik berharga. Tapi begitu wajah innocence-mu muncul, rasa dongkolku hilang berganti cinta.
Begitulah, cinta telah jadi semacam master hipnotis, sehingga semua emosi yang aku rasakan berubah menjadi cinta saat berada di hadapanmu.
"Mas, kita baru aja kehilangan tujuh juta rupiah. Dua bulan lalu ada teman yang nawarin bisnis dan ajak patungan modal. Aku lihat skema bisnisnya masuk akal, jadi aku join. Ternyata teman ini penipu dan sudah sebulan ini menghilang. Maaf mas aku gak bilang-bilang kamu dulu," ucapmu di suatu sore yang dingin.
Aku tertegun lama. "Ya sudah, uangnya nanti kita cari lagi," rasa amarahku hilang berganti cinta.
Kamu malah memeluk aku dan menangis. "Mas, sesekali kamu harus marah sama aku. Marah yang besar..."
Aku hanya menggeleng tanda tak bisa.
"Mas, aku hamil," ucapmu pada sore yang lain.
Aku menatap tak percaya. Ini penantian bertahun-tahun.
"tapi... ini bukan anak kamu, Mas."