Di antara tirai hujan yang semakin rapat, Jaka berlari. Tidak peduli kemeja biru langitnya sudah berubah warna menjadi biru gelap karena menyerap air hujan, juga dingin yang makin menyengat pori-pori, dia terus berlari. Dalam berkali-kali helaan napas, dia menyusuri sudut-sudut kota yang penuh kenangan. Trotoar, halte yang dipenuhi orang berteduh dan gang-gang yang mulai tergenang air.
Saat memotong jalan raya, beberapa kendaraan terpaksa berhenti mendadak membuat suara berdecit-decit di atas aspal. Sebagian pengendara lain membunyikan klakson panjang-panjang karena kesal. Tapi Jaka masih tetap tak peduli. Dia terus berlari membakar seluruh energi yang tersisa.
Setelah melewati sebuah coffee shop yang lengang, Jaka berhenti, lalu tertunduk-tunduk untuk mengisap udara memenuhi paru-paru sebanyak mungkin.
Dia kini berada di depan sebuah toko bunga yang didesain dengan gaya vintage.
"Jaka, kok basah kuyup gini?"
Jaka berbalik ke asal suara bening itu. Di depan pintu kaca toko yang terbuka, hadir gadis manis berwajah tirus, pemilik toko. Untuk sejenak, suara hujan yang menyirami bumi mereda. Tirai hujan mulai lebih renggang.
"Winda... winda, aku pengen ngomong sama, sama kamu," sahut Jaka terbata-bata. Irama jantungnya masih berantakan.
Gadis manis bernama Winda itu mengernyitkan kening tanda terheran-heran.
"Kamu? Eh, ayuk masuk dulu ke da---"
"Winda, aku cinta sama kamu! Aku sayang sama kamu, Win!"
Hujan kini benar-benar berhenti berbunyi.