Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Cerpen | Dirajah Sembilu

Diperbarui: 3 Agustus 2018   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: dnainfo.com

Seringkali tanpa disadari, saat sebuah luka disembuhkan, bagian kulit yang lain digores sembilu untuk membuka luka yang baru. Demikian seterusnya, sampai setiap jengkal kulit kita dipenuhi dengan luka dan bekas luka. Tapi seperti itulah hidup. Dengan luka, sembuh, terluka dan disembuhkan berkali-kali, kita semakin akrab dengan penderitaan sehingga lama kelamaan menganggap penderitaan adalah kawan lama yang tidak perlu ditangisi kedatangannya.

Credo itu yang terbenam dalam-dalam di benak Maya, gadis bermata sendu yang malam ini sedang bercakap-cakap dengan purnama. Berjarak empat meja di sebelah kirinya, sebuah band akuistik sedang membawakan lagu-lagu nostalgia yang manis. Vokalisnya, seorang lelaki gagah bersuara bariton sejak tadi menaruh perhatian pada Maya.

Suasana cafe yang berada di rooftop sebuah hotel sedang sepi pengunjung. Jadi setelah dua lagu berlalu, lelaki itu bertukar tugas dengan pemain perkusi dan dia sendiri melangkah ke meja Maya. Sesampai di sana, dia melempar salam dengan sangat sopan. Maya sedikit terkejut tapi tetap memberi ruang dengan membalas sapaannya ramah, "...kamu ini tipe lelaki yang membuat luka atau menyembuhkan luka?"

"Wah, kamu bukan saja cantik, tapi juga penuh kejutan. Panggil aku Fredy..."

Maya tersenyum lalu membalas uluran tangan Fredi, "Aku Maya. Suara kamu bagus, Fredy."

"Tapi kamu nampak tidak tertarik, Maya."

Maya tersenyum. Itu senyuman pertama malam ini. "Jangan menilai dari apa yang kelihatan...," sahutnya.  

"Tentu... tentu. Begitu juga denganku. Aku bukan obat merah... apalagi sembilu," sambung Fredy lalu duduk pada kursi di sisi Maya. "...tapi aku adalah cokelat manis yang bisa membuatmu ketagihan setengah mati."

Maya tertawa kecil. "Aku sudah hafal kelanjutan percakapan ini, Fredy..."

Maya sesaat menoleh ke arah Purnama dengan tatapan memelas, seperti seorang bocah meminta permen kepada ibunya.

Insting Maya benar adanya. Dua jam kemudian, dia dan Fredy telah terjebak di dalam kamar hotel yang dingin dan beraroma terapi. Tapi kontras dengan suasana kamar, tubuh keduanya begitu hangat dengan kucuran keringat di sana-sini. Napas keduanya seperti napas dua orang pelari yang berlomba menuju puncak kompetisi, kejar mengejar, susul menyusul. Walaupun akhirnya pada puncak kompetisi itu tidak ada lagi pemenang dan pecundang. Keduanya adalah pemenang... atau keduanya adalah pecundang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline