Kemiskinan itu Agamanya Apa?
Benarkah di Indonesia keutuhan negara sedang terancam oleh kesenjangan ekonomi karena yang kaya dan miskin berbeda agama?
Ini sebuah pertanyaan reflektif yang jawabannya sangat relatif. Kita bisa berdebat berhari-hari untuk mengurai jawaban pertanyaannya. Jadi lewat curhat ini saya tidak akan menjawabnya secara langsung, tapi mencoba mengurai jawabannya lewat sudut pandang lain.
Kemiskinan
Mungkin ini kata kunci sekaligus entry point yang paling bagus untuk kita. Kemiskinan adalah masalah klasik di negara ini. Rezim berganti, pemimpin naik dan lengser tapi masalah yang satu ini tidak kunjung selesai.
Agak satire, tapi rasanya kemiskinan sudah jadi aset bangsa, padahal mestinya dia jadi liability. Bagaimana tidak, kemiskinan adalah jualan yang paling laku saat elite politik merayu para konstituen setiap kali kepemimpinan akan berganti. Lihat saja janji dan program para politisi saat musim kampanye tiba. Lihat topik apa yang mendominasi kampanye mereka? Pasti tidak jauh-jauh dari masalah kemiskinan.
Di lain sisi, kemiskinan juga masih sering disalahgunakan sebagai proyek untuk bagi-bagi “kue”. Pencairan bantuan untuk menanggulangi kemiskinan dari pusat sampai ke tangan penerima melewati perjalanan yang panjang dan kompleks. Akhirnya begitu sampai ke tangan penerima, bantuannya tidak utuh seperti seharusnya lagi. Yang dikirim 100 yang sampai 50, karena terlalu banyak yang tercecer di jalan.
Di sisi yang lain lagi, kemiskinan sering jadi kambing hitam. Ada permasalahan, kemiskinan disalahkan. Ada konflik, kemiskinan disalahkan. Tidak usah jauh-jauh, saat ada kecelakaan di jalan raya yang melibatkan pengendara motor dan pengendara sepeda, misalnya. Siapa yang akan cenderung disalahkan? Pengendara motornya, bukan? Padahal belum tentu demikian. Kita cenderung menghakimi orang yang lebih “berpunya” jadi secara tidak langsung kita telah mengkambinghitamkan kemiskinan. Coba kalau yang kecelakaan sama-sama pengendara motor, kita pasti masih mengusut lebih jauh dulu sebelum mulai menyalahkan.
Menariknya, kali ini selain dijadikan kambing hitam, kemiskinan pun dikait-kaitkan dengan agama. Apa benar, kalau kesenjangan dalam masyarakat itu berbahaya dan rentan memicu konflik horizontal karena si kaya dan si miskin berbeda agama?
Nah, yang berbahaya justru kalau audiens menerima statement tersebut mentah-mentah tanpa menalarnya lebih jauh. Padahal statement tersebut justru bisa kita jadikan permenungan yang baik. Yang penting jangan fokus ke perbedaan agamanya, ini akan membuat masalah tidak kunjung selesai. Kita fokus saja pada masalah kesenjangan ekonominya, masalah kemiskinannya. Ini yang lebih mudah untuk dikerjakan.
Selama ini sudah banyak kiat dan program yang dicanangkan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan. Tapisepertinyamenarik kalau pemerintah mencoba alternatif solusi dari pendekatan agama. Misalnya Pak Jokowi mengkonsolidasikan Kementerian Agama dan Kementerian UKM & Koperasi untuk menggalakkan pembentukan koperasi-koperasi dan pusat wirausaha di lingkungan Masjid, Gereja, Wihara, Pura dan pusat-pusat pendidikan agama seperti pesantren dan lain-lain. Kemudian pemuka-pemuka umat atau tokoh-tokoh umat diberi pelatihan tentang ilmu Financial Literacy agar bisa mengajarkan umatnya tentang pengelolaan keuangan keluarga yang baik. Itu baru beberapa contoh. Pembaca yang mau menambahkan dipersilahkan.